.quickedit{ display:none; }

Kamis, 01 Desember 2011

SINOPSISKU


“Ya Allah, sebenarnya apa yang sedang kupikirkan, mataku sulit terpejam, hati pun terasa tak tenang”, gumamku dalah hati.
              “Aku tak bisa membohongi perasaanku, semakin kupikirkan perasaanku semakin sakit, bagaikan diiris-iris pisau tumpul yang tak henti”.
            “Jangan biarkan aku terbawa oleh perasaan ini, perasaan yang tak jelas yang membuat hati gundah”, tambahku.
            “Mir, ceritalah padaku,” pinta husen lagi yang semakin bingung melihatku.
            “Kita kan sudah kenal lama, jadi sudah seharusnya kita saling bantu, jika satu ada masalah maka yang satu juga akan membantu menyelesaikannya. Sama dengan kamu, kalau kamu ada masalah, maka aku akan bantu kamu semampuku”.
            Husen berusaha membujukkan supaya aku mau bercerita tentang masalahku. Tapi aku masih tak menghiraukannya.
            “Sen, bukannya aku gak mau menerima bantuanmu. Aku saja masih bingung dengan perasaanku sendiri. Beberapa hari ini, aku selalu gelisah. Perasaanku tidak tenang”, kataku menjelaskan. 
            “Aku selalu teringat keluargaku di rumah, sepertinya ayahku selalu memanggilku memimta aku untuk pulang sebentar. Aku bingung, apakah aku harus pulang atau tidak ?”.
            Keluargaku bukan termasuk keluarga kaya, tapi aku bahagia hidup dengan mereka. Karenamenurutku bahagia itu bukan dilihat dari harta tapi bahagia itu dilihat dari kita sendiri. Apakah kita nyaman dengan keluarga atau tidak.
            “Amir, kita memang orang yang pas-pasan, tapi ayah percaya kamu bisa meraih mmpimu-mimpimu. Ayah dan ibu sangat berharap kalau anak-anak ayah tidak mengulangi kehidupan ayah ini”. Pesan ayah padaku.
            Banyak sekali pesan ayah untukku. Pesan-pesan itu selalu kuingat untuk memotivasiku dalam belajar.
            “Banyaklah duduk dengan orang-orang besar. Banyakalh bertanya pada ulama. Dan bergaulalah dengan orang-orang bijak” (H.R. Ath Thabrani dari Abu Juhaifah)
            Pesan ayah sudah terpatri dalam pikiranku, ayah dan ibu adalah orang pertama yang memberiku motivasi untuk meraih cita-citaku. Orang tuaku memang tidak pandai tapi beliau bisa berpikir elebihi orang pandai.
            Besok adalah acara pawai ta’aruf memperingati Tahun Baru Hijriyah 1433 H. pawai ta’aruf yang diikuti oleh seluruh siswa-siswa dari SD s/d SMA se-kecamatan.
            “Sen, jadi ikut pawai to besok ?”, tanyaku pada sahabatku.
            “Liat aja besok”, husen tak begitu semangat menjawab pertanyaanku.
            Setiap tahun kami selalu mengikuti kegiatan pawai ta’aruf. Tapi pada tahun ini, rasa begitu beda. Entah karena apa, hatiku begitu semangat mengikuti kegiatan ini.
            “Sen ayo berangkat, kita sudah telat !”
            “Iya, sebentar !”.
            Kami berlari menuju sekolah yang kebetulan tak begitu jauh dari asrama.
            Dalam perjalanan pawai itu, aku melihat sosok gadis manis berkerudung putih, dia selau memberikan senyum kepada siapa saja yang ditemuinya. Subhanaallah, begitu indah dia. Semakin kuperhatiakan, perasaanku semakin tenang, sepertinya taka sing wajah itu. Hatiku mengatakan aku pernah kenal dengan dia ? tapi siapa dia. Aku tak mendapatkan jawabannya.
            Aku masih penasaran dengan paras cantik itu, senyumnya yang manis, wajahnya yang indah membuat hati yang melihatnya tak bias lupa. Terselip dalam pikiranku, foto masa kecil itu, rasanya tak jauh berbeda dengan gadis manis itu.
            “Apakah dia Farida, teman kecilku ?”.
            Banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam pikiranku, namun tak satu pun jawaban yang aku dapatkan. “Jika Firida, apakah dia masih mengenaliku ?”. pertanyaan-pertanyaan itu masih saja muncul bertubi-tubi.
            Farida memang sudah dewasa.kita berpisah sejak berumur 8 tahun. Aku duduk dibanku kelas dua SD dan dia di kelas satu. Farida pindah karena mengikuti orang tuanya yang dipindahtugaskan ke Surabaya. Semenjak itu kita jarang berkomunikasi, jadi wajar saja kalau kita tidak saling kenal.
            Farida ialah gadis yang sangat istimewa. Meskipun sudah lama tidak bertemu, dia masih saja sama dengan Farida kecil yang aku kenal. Gadis manis yang membuat orang terpesona jika melihatnya. Senyumnya bak senyum bidadari yang memancarkan sinar kebahagiaan.
            “Sen, aku baru saja melihat bidadari”, kataku terpesona.
            Husen melongo mendengarkan ucapanku. “Apa Mir, kamu melihat bidadari ? kamu lagi mimpi ya, mana ada bidadari jalan-jalan di bawah terik matahari, bidadari kesiangan kali, yang tadi malam begadang semalaman”. Jawabnya sembari mengejek.
            “Ya sudah kalau gak percaya”. Jawabku ringan.
            Kami melanjutkan perjalanan pawa ta’aruf yang baru dapat setengah jalan. Matahari memang menyengat, membuat cairan tubuh memancar deras keluar mengairi kulit yang kusam. Tapi aku tiadk merasakannya, karena senyum bidadari itu telah memberiku kesejukkan.
            Hari ini ada acara silaturrahim kelompok rohis antar sekolah dan aku terlibat di dalamnya. Acara sudah dimulai para peserta sudah mendaftar. Tak kusangka, aku melihat bidadari itu lagi. Dia masih tetap sama, gadis anggun yang lemah lembut.
            “Assalamu’alaikum”, sapaku memberanikan diri.
            “Wa’alaikum salam”, jawabnya lembut.
            Jantung berdebar semakin kencang kencang. Kuberanikn diri untuk memandang wajahnya yang indah. Kuulurkan tanganku untuk bersalaman. Dia hanya tersenyum tak mambalas.
            “Sepertinya kita pernah bertemu ?”, tanyaku mengawali obrolan.
            “Iya, aku juga merasa begitu, tapi dimana, kurang ingat”, jawabnya.
            Ternyata apa yang kurasakan sama dengan dia, kita merasa pernah saling kenal. Aku semakin yakin. Kalau dia benar-benar Farida. Aku berani memberanikan diri menebak namanya.
            “Kamu Farida ya ?” tanyaku ragu.
            Dia agak terkejut mendengar ucapanku.
            “Kamu kok tahu ?”, jawabnya.
            “Ini aku Amir, teman kecilmu dulu kitakan bertetangga, masih ingat ?” .
            “Masya Allah, aku hamper lupa, apa kabar ?”.
            “Alhamdulillah baik, gimana dengan mimpimu dulu ?”
            “ Oh … itu, alhamdulillah do’anya, sekarang aku sudah mendapatkannya”.
            Mendengar jawaban itu. Hatiku terasa pilu, jantungku seakan berhenti berdetak.  Bidadari yang kuimpikan selama ini ternyata telah menjadi milik orang lain. Mutiara putih yang aku cari telah ditemu oleh orang lain. Sungguh beruntung orang yang menemukannya. Aku masih belum percaya, bidadariku akan pergi lagi.
              
           

Selamat datang di blog RUMAH BACA, Terima kasih telah berkunjung di blog kami.. Semoga anda senang!!