H Ahmad Basuni, jika dilihat kariernya dibidang pers, kita dapat menyebutnya bahwa ia seorang pers nasional. Ia telah membuktikan dalam hidupnya sekali wartawan tetap menjadi wartawan sampai akhir hayat. Ia mendapat kepercayaan dari PP Muhammadiyah, setelah Muktamar ke-33 di Bandung tahun 1965, untuk mengemban amanah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Dwi Mingguan "Suara Muhammadiyah" selama 25 tahun sampai wafat. Ia(pernah memimpin Suara Muhammadiyah yang digayabarukan bersama Muhammad Diponegoro dan Abdullah Sabda. Kemudian ikut bergabung HA Syafi'i Ma'arif memperkuat SM (pernah menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998 - 2005), sejak sebelum bergelar Prof. DR dan MA yang hingga kini menjadi sesepuh SM sebagai pemimpim umum.
Pada permulaan Orde Baru, Muhammadiyah mempunyai surat kabar harian yang terbit di beberapa kota dengan satu nama ialah Mercu Suar. Di Yogyakarta, Mercu Suar terbit pertama pada tanggal April 1966. Pemrednya dipercayakan kepada Soendoro, wartawan senoir dan ditunjuk sebagai Pemimpin Umumnya ialah R. Muhammad Saleh Werdisastro, yang pernah menjadi Walikota Surakarta dan Residen Kedu. setelah masa jabatan Soendoro sebagai Pemred berakhir, maka ia ditunjuk H Ahmad Basuni menjadi penggantinya selama beberapa tahun. Jadi, waktu itu, ia menjadi Pemred Suara Muhammadiyah sekaligus merangkap Pemred Mercu Suar. Dalam perjalanan berikutnya Mercu Suar kemudian berganti nama harian Masa Kini dan sekarang sudah tidak terbit lagi.
H Ahmad Basuni putera kelahiran Kalimantan Selatan, tanggal 28 Pebruari 1920. Menetap dan menjadi penduduk Yogyakarta sejak awal tahun 1947. Meninggal dunia tanggal 12 Nopember 1990 dalam usia 70 Tahun setelah dirawat beberapa hari di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Ada cerita menarik tentang kepindahannya dari Kalsel ke Yogyakarta. Beliau pada masa mudanya terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, bergabung dengan Angkatan Perang Sabilillah. Ia tertangkap tentara penjajah dan hendak dihukum mati. Tapi, beliau lolos dari penjara dan dilarikan teman-teman seperjuangan ke Jawa diawal tahun 1947.
H Ahmad Basuni putera kelahiran Kalimantan Selatan, tanggal 28 Pebruari 1920. Menetap dan menjadi penduduk Yogyakarta sejak awal tahun 1947. Meninggal dunia tanggal 12 Nopember 1990 dalam usia 70 Tahun setelah dirawat beberapa hari di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Ada cerita menarik tentang kepindahannya dari Kalsel ke Yogyakarta. Beliau pada masa mudanya terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, bergabung dengan Angkatan Perang Sabilillah. Ia tertangkap tentara penjajah dan hendak dihukum mati. Tapi, beliau lolos dari penjara dan dilarikan teman-teman seperjuangan ke Jawa diawal tahun 1947.
Sejak umur 19 tahun, Beliau
mulai terjun di bidang jurnalistik. Masih muda, beliau juga sudah menjadi
anggota redaksi mingguan “Kesadaran Kalimantan” di Banjarmasin. Pada tahun
1942, pindah ke Barabai dan menjadi anggota mingguan “Suara Hulu Sungai” dan anggota
redaksi mingguan “Warta Mingguan”. Bahkan menjadi Pemred majalah bulanan
“Majalah Semarak PPI”. Di jaman pendudukan Jepang, beliau menjadi anggota
redaksi harian “Borneo Shimbun” di Banjarmasin tahun 1943 – 1944. Meningkat
diangkat menjadi Pemred “Borneo Shimbun” di Kandangan tahun 1945. Setelah
Indonesia merdeka, tahun 1946, beliau menjadi Pemred majalah bulanan “Puspa
Wangi” di Banjarmasin.
Setelah hijrah ke Yogyakarta
awal tahun 1947, semangat dan kegiatan beliau dalam bidang jurnalistik terus
berlanjut. Tahun 1947 – 1948 menjadi anggota redaksi majalah bulanan “Mandau”
dan “Tunas”. Tahun 19 50 – 1955 menjadi anggota redaksi majalah harian
“Nasional” yang sekarang bernama “Berita Nasional”. Kemudian menjadi Pemred
harian Islam “Suara Umat”. Di zaman Orde Baru pernah menjadi Pemred Harian
Mercu Suar. Bahkan menjadi Pemred majalah dwimingguan “Suara Muhammadiyah”
sampai akhir hayat.
Beliau juga mempunyai
ketertarikan dalam bidang sastra dan sejarah. Beliau pernah menulis riwayat
Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ia berjasa dalam memperjuangkan pahlawan
Kalsel Pangeran Antasari agar diakui Pemerintah sebagai Pahlawan Kemerdekaan. Beliau
menulis brosur berjudul “Pahlawan Antasari, Pahlawan dan Pencetus serta
Penggerak Perang Banjar melawan Penjajah Belanda”. Brosur itu digunakan untuk uraian dalam peringatan
Antasari pertama 11 Oktober 1958 di Banjarmasin. Pada tahun 1968, setelah 10
tahun dipopulerkan dan diperjuangkan, Presiden Soeharto dengan SK No.
06/TK/1968, mengakui dengan resmi Pangeran Antasari sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional. Setelah itu terbit buku yang berjudul “Pangeran Antasari
Pahlawan Kemerdekaan Nasional dari Kalimantan” dan sebuah kilasan sejarah
masuknya Islam di Kalimantan dengan judul “Nur Islam di Kalimantan”, kedua buku
tersebut diterbitkan oleh Bina Ilmu Surabaya.
Selama menjadi warga
Yogyakarta, beliau aktih di Muhammadiyah. Pernah menjadi anggota DPRD Kotapraja
Yogyakarta wakil Masyumi. Tahun 1958 – 1959 menjadi Wakil Ketua Dewan
Pemerintah Daerah Kotapraja Yogyakarta juga mewakili Masyumi. Setelah ada
perubahan struktur pemerintahan, beliau diangkat menjadi anggota BPH (Badan
Pemerintah Harian) Kotapraja Yogyakarta tahun 1959 – 1964. Waktu itu
pula,beliau mengikuti kuliah tertulis di Fakultas Sospol jurusan Publisistik Universitas
Pajajaran Bandung hingga lulus sarjana muda. Di masa Orde Baru, beliau juga
pernah menjadi anggota DPRD DIY mewakili Muhammadiyah. Pengalaman lainnya di
Muhammadiyah, beliau menjadi anggota pleno PP Muhammadiyah karena kedudukannya
sebagai Ketua Majelis Pustaka. Ketika menjabat sebagai Ketua Majelis Pustaka PP
Muhammadiyah, beliau juga menjadi Wakil Ketua PWM DIY.
Begitulah perjalanan salah
satu Tokoh Muhammadiyah yang juga memiliki andil dalam perjalanan Negeri ini.
like this
BalasHapus