Dalam sejarah perjalanan bangsa
Indonesia, pendidikan merupakan wilayah konflik akut sepanjang akhir abad ke
19, dan memuncak pada wala abad ke 20. Brugman (1987) menandaskan bahwa politik
pendidikan pada masa kolonial Belanda bukan hanya suatu bagian dari politik
kolonial, tetapi lebih dari itu, merupakan inti politik kolonial. Pendidikan
yang dibangun dan dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda menggambarkan
kemauan dan garis politiknya, yaitu sebagai alat untuk memperkuat dan
melanggengkan kekuasaannya di bumi nusantara.
Mencermati
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Kolonial Belanda, sedikitnya ada
enam karakteristik yang cukup menonjol : gradulisme, dualisme, pengawasan pusat
yang ketat (sentralistik), pendidikan pegawai lebih diutamakan, konkordansi,
dan tidak ada perencanaan yang sistematis bagi pendidikan pribumi. Dalam
pandangan Ki Hajar Dewantoro, sebagaimana dikemukakan oleh Surjomihardjo
(1976), ada dua ciri pokok pendidikan kolonia, yaitu pendidikan bercorak
kolonialis dan intelektualis. Abdul Mukti Ali (1971) juga menengarai bahwa
model pendidikan yang dikembangkan Belanda bercorak intelektualis, individualis
dan kurang sekali memperhatikan dasar-dasar dan asa moral atau agama.
Model
pendidikan kolonial ini memunculkan ketidakpuasan masyarakat Indonesia yang
pada gilirannya akan mendorong mereka untuk membangun pendidikan alternatif
yang lebih berwajah nasionalis sebagai alat perlawanan terhadap penjajah.
Sedikitnya ada tiga model pendidikan yang bercorak nasionalis yang cukup
menonjol ; Muhammadiyah, INS Kayu Tanam dan Taman Siswa.
Ruang
pendidikan INS Kayu Tanam, Sumatra Barat, hadir karena ketidakpuasan atas pola
pendidikan kolonial Belanda yang sangat intelektualis, sehingga Mohammad Sjafei
termotivasi untuk membangun sekolah model yang mampu melahirkan manusia yng
terampil dan produktif. Pada sisi lain, kelahiran perguruan Taman Siswa
dimaksudkan sebagai antitesis terhadap pendidikan kolonial yang berkultur
imperialis dan Belanda sentris. Karenanya, Ki Hajar Dewantoro berusaha
menciptakan suatu lembaga pendidikan yang berwajah budaya Indonesia. Sedangkan
Persyarikatan Muhammadiyah muncul sebagai upaya menetang sifat netralitas agama
dalam sekolah-sekolah Belanda. Sebagai alternatifnya, Muhamadiyah mendirikan
sekolah-sekolah yang berladaskan pada agama Islam.
Para
pengkaji sejarah pendidikan di Indonesia sependapat bahwa Muhammadiyah, Taman
Siswa, dan INS Kayu Tanam adalah perintis dan peretas pendidikn nasional yang
bercorak modern di Indonesia (Idris, 1981; Said, 1981 ; Navis, 1999;
Poerbakawatja, 1970). Dengan demikian, arah pengembangan pendidikan tersebut
sebagai akar pendidikan modern. Tiga pilar pendidikan nasional tersebut anak
coba ditelaah melalui pendekatan filosofis-historis. Dengan pendekatan ini
diharapkan dapat ditemukan landasan filosofis yang mendasari masing-masing
sistem pendidikan. Pembahasan terhadap INS Kayu Tanam dan Taman Siswa
menyangkut garis besar pendidikannya berkaitan dengan ide-ide paokoknya tentang
pendidikan, sedangkan kajian atas Muhammadiyah dilakukan secara lebih mendetil,
berkaitan dengan pokok-pokok atau unsur-unsur dalam studi ilmu pendidikan.
a. Muhammadiyah
Organisasi ini didirikan oleh Kiyai
Haji Ahmad Dahlan, seorang santri yang belum pernah mengenyam sekolah umum tetapi
memiliki pergaulan yang amat luas dengan kalangan intelektual keluaran
sekolah-sekolah Belanda. KH. Ahmad Dahlan belajar ilmu agama dengan orang
tuanya sendiri dan saudara-saudaranya, kemudian menimba ilmu dari satu
pesantren ke pesantren lain dan akhirnya pergi ke Mekkah.
Sebelum mendirikan Sekolah
Muhammadiyah apda tahun 1911, K.H. Ahmad Dahlan pernah merintis pondok tempat
menginap siswa yang berasal dari luar Yogyakarta tapi tidak memuaskannya
sehingga tidak dilanjutkan. Sesaat setelah Sekolah Muhammadiyah murid-murid
utamanya, keluarga, dan rekan-rekan sesama guru agama mendesak beliau agar
mengorganisasikan sebuah perkumpulan untuk memayungi sekolahan itu sehingga
nasibnya tidak seperti pesantren yang punah bila ditinggal kiyainya.
Adapun tujuan Muhammadiyah adalah
untuk ;
Memajukan
dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Islam di Hindia Belanda
Memajukan
dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama kepada
anggota-anggotanya (Wirjosukarto, 1968:87)
Secara eksplisit tujuan pendidikan
Muhammadiyah baru dirumuskan pada tahun 1955, tapi bukan berarti aktifitas pendidikan
tidak memiliki visi pendidikan. Ibnu Umniyah, seorang murid KH. Ahmad Dahlan
mengatakan “dadiyo kiyai sing kemajuan lan aja kesel-kesel anggonmu
nyambut gawe kanggo Muhammadiyah” (Jadilah seorang ulama dan
intelektual yang mampu mengikuti kemajuan zaman dan janganlah merasa lelah
bekerja untuk (melalui) Muhammadiyah). Mawardi menandaskan tujuan pendidikan
Muhammadiyah sejak berdiri adalah untuk membentuk “alim intelek”, yaitu seorang
muslim yang seimbang iman dan ilmunya, menguasai ilmu umum maupun agama, orang
yang kuat rohani dan jasmaninya.
Program pendidikan yang ditawarkan
KH. Ahmad Dahlan mencakup ilmu-ilmu umum sekaligus yang pada garis besarnya
menitikberatkan pada tiga aspek ;
Pendidikan moral
(akhlak) untuk menanamkan karakter manusia yang saleh berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah.
Pendidikan individu,
untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh, seimbang perkembangan mental
dan jasmani, keyakinan dan intelektual, perasaan dan akal pikiran, serta antara
dunia dan akherat.
Pendidikan
kemasyarakatan, untuk membangkitkan kesadaran sosial dan bermasyarakat.
(Arifin, 1987; Wirjosukarto, 1968).
Proses belajar mengajar di sekolah
Muhammadiyah berlangsung secara dialogis, ada interaksi antara pendidik dengan
subyek didik. Ada dua pendekatan yang sangat menonjol dari Dahlan kala
menyampaikan materi kepada peserta didiknya, yaitu metode kontekstual-pragmatis
dan cara berfikir reflektif, cara berfikir bolak-balik antara deduktif dan
induktif secara cepat. Yang dimaksud dengan metode kotekstual-fungsional adalah
proses pembelajaran dudesain sedemikian rupa sehingga setiap ilmu (isi
pelajaran) yang diajarkan ditarik relevansinya dengan fenomena kehidupan
masyarakat. Sebab, bagi Dahlan ilmu tidak cukup dipahami atau dihafalkan tapi
harus dipraktikkan dalam hidup sehari-hari sehingga bisa dirasakan oleh
masyarakat.
Mas Mansur (1999;198) menggambarkan
model berpikir Dahlan dengan kalimat berikut :
KH. Ahmad Dahlan gemar sekali
mengupas tafsir dan pandai pula tentang hal ini. Kalau menafsirkan sebuah ayat,
beliau selidiki terlebih dahulu dalam tiap-tiap perkataan dalam ayat itu satu
persatu. Beliau lihat kekuatan atau perasaan yang terkandung oleh perkataan itu
di dalam ayat yang lain, berulah beliau sesuaikan dengan keadaan hingga
keterangan beliau itu hebat dan tepat.
b. Taman
Siswa
Perguruan Taman Siswa didirikan
oleh Ki Hajar Dewantoro pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Pada awal
berdirinya bernama National Onderwijs Taman Siswa untuk kemudian berubah
menjadi Perguruan Taman Siswa.
Secara teoritis Ki Hajar Dewantoro
merumuskan asas-asas yang merupakan bingkai dan landasan perjuangan Taman Siwa
dalam konteks pergerakan nasional. Beliau merumuskan tujuh asas pendidikan Taman
Siswa (Idris, 1981;23-24) :
1. Seseorang
itu merdeka untuk mengatur dirinya sendiri dengan waji mengingat kedamaian dan
ketertiban dalam kehidupan bersama. Hendaknya tiap anak dapat berkembang
menurut kodrat dan bakatnya. Hendaknya perintah dan hukuman mendidik anak
ditiadakan. Akan tetapi mereka kita didik dengan sistem among atau tut
wuri handayani.
2. Asas
kemerdekaan dalam cipta, rasa dan karsa. Pendidikan harus membimbing anak
menjadi manusia yang bisa mencari sendiri pengetahuan dengan menggunakan fikirannya,
perasaannya, dan kemauannya.
3. Asas
kebudayaan Indonesia sendiri. Pendidikan harus didasarkan ata kebudayaan
Indonesia sendiri, agar anak didik jangan cepat terpengaruh oleh kebudayaan
oleh kebudayaan yang datang dari luar.
4. Asas
kerakyatan. Pendidikan dan pengajaran harus diberikan kepada seluruh rakyat.
5. Asas
kekuatan sendiri. Taman Siswa menolak bantuan yang mungkin dapat mengikatnya,
baik berupa ikatan lahir maupun batin.
6. Asas
hidup diatas kaki sendiri. Segala pembelanjaan ditutup dengan uang pendapatan
sendiri. Oleh karena itu dalam kehidupan harus hemat.
7. Asas
berhamba pada anak. Para pendidik dan mendidik anak hendaknya dengan sepenuh
hati, tulus dan ikhlas, dengan tidak terikat pada siapapun dan oleh apapun
juga.
Dalam konteks pembangunan sistem pendidikan
Nasional, beliau menginginkan agar pendidikan nasional menggunakan kebudayaan
sendiri sebagai basis kebudayaan. Hal ini sejalan dengan asas Taman Siswa
ketiga. Kebudayaan sendiri terebut harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Dengan kata lain, Taman Siswa melalui pendidikan ingin merivitalisasi budaya
yang telah hidup berabad-abad di masyarakat.
Dalam berbagai pertemuan Ki Hajar
Dewantoro sering mengatakan bahwa metode yang beliau gunakan metode
Montessori-Tagore. Beliau mengatakan sebagai berikut :
“Montessori dan Tagore ialah
pembongkar dunia pendidikan lama serta pembangun aliran baru, aliran mana
sesuai dengan aliran kita, yag sesungguhnya terambil dari adat pendidikan yang
masih hidup dalam masyarakat kita atau asih nampak bekas-bekasnya, yaitu aliran
yang kita sebut kulturan nasional” (Surjomihardjo,
1986; 74)
Sejalan dengan kerangka pemikiran
di atas, maka sistem pendidikan nasional yang paling relevan ialah menggunakan
sistem among. Among berarti asuhan dan
pemeliharaan dengan suka cinta, dengan memberi anak asuhan itu untuk bergerak
menurut kemauannya, berkembang menurut bakat kemampunnya. Sistem among
menempatkan guru sebagai fungsi orang tua. Guru sebagai tukang pamong dan
sebaga pendidik, berfungsi sebagai tukang momong (asuh). Karena itu tugas guru
yang biasanya memberi perintah dan hukuman kepada muridnya tidak digunakan
Taman Siswa. Tugas guru sebagai pamong adalahmemberi bimbingan dan membantu
anak tumbuh dan berkembang menurut kodratnya.
Sebagai upaya merealisasikn sistem
among tersebut maka dikembangkanlah teori Tri-Sentra (Tauchid, 1976) yang
mengandung pengertian bahwa peguron (perguruan) merupakan miniatur tiga
alam, yakni ; asrama (keluarga), balai wiyata (sekolah), dan tempat pergauan
pemuda (masyarakat). Oleh karena itu, Perguruan Taman Siswa berupaya
menciptakan suatu kondisi yang menggambarkan kehidupan di sekolah, rumah, dan
masyarakat. Bagi Taman Siwa, pendidikan adalah untuk merivitalisasi budaya
nasional (nuansa jawa amat kental).
c. INS
Kayu Tanam
Ruang pendidikan INS Kayu Tanam
ialah pelaksanaan cita-cita pendidikan bangsa yang bersumber pada nilai-nilai
pendidikan yang ada dalam alam ciptaan Allah. INS Kayu Tanam didirikan oleh
Mohammad Sjafei pada tanggal 31 Oktober 1936 di Kayu Taman, Sumatra Barat.
Kekhasan INS Kayu Tanam adalah penekanannya pada pendidikan keterampilan, corak
ini terkait erat dengan pergumulan hidup dan latar belakang keluarga Mohammad
Sjafei. Percikan pemikiran beliau tentang pendidikan tertuang dalam tulisannya
berjudul Dasar-dasar Pendidikan.
Berdasarkan penelaahannya atas
fenomena alam semesta sebagai ayat-ayat Kauniyah dari Allah SWT, beliau menarik
kesimpulan sementara beberapa karakter alam dalam kaitannya dengan dasar-dasar
pendidikan INS, yaitu :
1) Keaktifan
yang sangat besar dalam berbagai bentuk.
2) Pada
keaktifan itu ada batasnya
3) Keaktifan
itu berjalan menurut dalil-dalil tetap, sekali-kali tidak berkacau balau saja
4) Di
alam terdapat keseimbangan atau harmoni
5) Keaktifan
di alam berjalan menurut bakat
6) Pada
ciptaan-ciptaan itu terdapat juga ukuran-ukuran yang tetap
7) Pada
ciptaan yang bernyawa atau hidup ada perjuangan hidup
8) Di
alam didapati juga sesuatu yang merusakkan tetapi disamping itu terdapat juga
kekuatan yang bisa menghalangi kerusakan itu
9) Di
alam lepas banyak terdapat keindahan (estetika)
10) Di
alam juga terdapat pembagian pekerjaan secara teratur
11) Akibat
pembagian itu di bumi timbul perbedaan-perbedaan mengenai : iklim,
tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, atau makhluk, lain-lainya
12) Manusia
diperlengkapi dengan berbagai alat dalam tubuhnya sehingga dapat merasakan,
memikirkan, mmeciptakan berbagai-bagai soal
13) Manusia
dianugrahi Tuhan otak yang bisa dipergunakan untuk menyelami rahasia-rahasia
alam yang tidak terbilang banyaknya, dan ada faedahnya untuk kebahagiaan umat.
14) Pendidikan
yang didasarkan atas contoh-contoh yang terdapat dalam alam ciptaan Tuhan pasti
akan membawa bahagia bagi diri, nusa dan bangsa, dan kemanusiaan serta agama
(Mohammad Sjafei, 1979 ; 138)
Strategi pendidikan yang dipilih
dalam usahanya mencapai harkat dan
martabat yang sama dengan negara maju adalah dengan mengubah mental bangsa agar
menjadi bangsa yang dinamis, aktif, kreatif, dan produktif (Navis, 1999). Untuk
mewujudkan strategi dan tujuan tersebut, menurutnya ada tiga komponen utama
manusia yang harus ditumbuhkembangkan secara seimbang dan sinergi; otak, jiwa,
dan tangan. Fungsi pelajaran akademik sebagai alat latihan meningkatkan daya
nalar, berfikir logis, sistemik, dan matematis serta daya serap otak. Sedangkan
pendidikan pekerjaan tanganpada perguruan INS Kayu Tanam merupakan alat untuk
melatih kerja agar menjadi manusia yang tidak senang diam (Navis, 1999).
Tujuan pendidikan INS Kayu Tanam
pada saat pembentukkannya, dan hingga saat ini masih terus dipertahankan adalah
:
1) Mendidik
rakyat kearah kemerdekaan
2) Memberikan
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
3) Mendidik
para pemuda agar berguna bagi masyarakat
4) Menanamkan
kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani bertanggung jawab
5) Tidak
mau menerima sokongan yang dapat mengurangi kebebasan untuk mencapai cita-cita
(Edward, 1995; 155)
Ada dua tujuan lain yang diletakkan
pada pendidikan INS Kayu Tanam, yaitu :
1) Melatih
kerja sistematis
2) Dapat
memanfaatkan alat-alat yang ada untuk memenuhi kebutuhan sehingga murid-murid
tidak terlepas dari lingkungannya (Edward, 1995 ; 158)
Pada garis besarnya materi pelajaran dibedakan menjadi
dua golongan : pelajaran teori dan pelajaran keterampilan, dan alokasi waktunya
juga seimbang. Metode pengajaran di ruang INS Kayu Tanam, Edward (1995;16)
menjelaskan :
Pelajaran keterampilan bukanlah merupakan tujuan,
tetapi hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan. Dan sebagai alat, pelajaran
keterampilan mempunyai kedudukan utama. Tidak ada pelajaran teori yang dibuat
kaitannya dengan pelajaran keterampilan. Dan tidak ada pelajaran keterampilan
yang tidak mempunyai kaitan dengan tujuan pendidikan. Pembentukkan pelajaran
keterampilan sebagai alat pendidikan utama, menyebabkan tidak ada hari-hari
yang berlalu tanpa kerja.
Produk pendidikan INS Kayu Tanam
yang ideal menurut Sjafei adalah sosok manusia yang memiliki kebenaran dalam
hatinya, pengetahuan dalam otak. Keduanya terbangun hubungan timbal balik dan
sinergi sehingga terbangun kegembiraan kerja dalam suasana kesehatan jasmani
dan rohani, mencintai tanah air tetapi tetap sadar sebagai bagian dari dunia
(Surjomihardjo, 1987;32)
Ruang pendidikan INS Kayu Tanam
terdiri atas empat tingkatan :
1) Ruang
rendah sekolah dasar 7 tahun
2) Ruang
antara 1 tahun
3) Ruang
dewasa 4 tahun
4) Ruang
masyarakat 1 tahun (Idris, 1981;22)
Pendidikan mempunyai peranan untuk
menyegarkan rasionalitas secara demokratis. Rasionalitas dalam makna
dimilikinya kepercayaan oleh seseorang yang berlandaskan atas informasi dan
fakta dan akan merubah pendirian atau kepercayaannya itu apabila informasi atau
fakta yang ditemukan kemudian membuktikan lain. Aspek demokratis dari
pendidikan berarti adanya kesamaan bagi setiap warga negara untuk memperoleh
kesempatan dalam mengenyam pendidikan dengan memperhatikan aspek-aspek
kewajaran.
Tujuan pendidikan ialah untuk
menumbuhkembangkan subyek didik secara penuh dengan bekal pengetahuan dan
keterampilan yang luas dan mampu melakukan penyesuaian diri dari sosialisasi
dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan yang digariskan tersebut diperlukan
suatu kurikulum komperehensif yang dapat mempertemukan hubungan yang wajar
antar dunia pendidikan (sekolah) dengan masyarakat.
*)
dirangkum dari buku Mazhab al-Maun Tafsir Ulang Praksis Pendidikan Muhammadiyah
karya Mohammad Ali dan Marpuji Ali.
Kesimpulan
Menyimak uraian tersebut diatas, maka kita dapat melihat bagaimana
beliau-beliau tersebut telah memberikan konsep pendidikan yang memang sangat
dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Konsep pendidikan yang mereka tawarkan
mungkin dapat menjawab atau mengobati rasa ketidakpuasan kita terhadap proses
pendidikan yang dilaksanakan oleh pemeritah Kolonial Belanda (Penjajah).
Mereka hadir dengan membwa
perubahan atau lebih tepatnya lagi merubah pola pikir masyarakat Indonesia dari
masyarakat yang terjajah menjadi masyarakat yang merdeka. Masyarakat yang bebas
mengeluarkan gagasan-gagasan terbaiknya untuk memajuan pendidikan di Indonesia.
Namun tidak dapat dipungkiri pula,
bahwa hasil dari pendidikan masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan atau
belum sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Menurut hemat penulis, para ahli
pendidikan/praktisi pendidikan sebaiknya mulai melakukan pengkajian ulang
mengenai sistem pendidikan Indonesia sekarang, dengan mempelajari sistem
pendidikan yang telah dilakukan oleh ketiga pahlawan pendidikan tersebut
diatas. Dimana pendidikan itu dilaksanakan berdasarkan pada agama,
keterampilan, kebudayaan daerah.