.quickedit{ display:none; }

Rabu, 30 Mei 2012

MENGAPA ????

Gema adzan maghrib masih terngiang di telinga. Mengantarkan sang surya kembali ke peraduannya serta menyambut rembulan yang telah siap beraktifitas. Sinar rembulan mulai terpancar, menembus dedaunan dan padang ilalang. Malam ini langit begitu terang, cahaya bintang mulai bertaburan menghiasi malam. Aku sedang duduk di teras rumah. Menikmati suasana malam ini, serta isitrahat menghilangkan penat dari aktifitasku yang cukup menguras tenaga. “Huuuh ...,” Aku menghela napas, membuang seluruh beban yang menimpa pikiranku. Memandang langit terang, dengan senyum rembulan dan bintang, serta tiupan angin malam yang berjalan perlahan, sehingga membuat pikiranku semakin terasa ringan. Malam ini aku masih terbayang dengan kejadian itu. Bencana banjir bandang yang telah melanda kampungku satu tahun lalu. Bencana yang telah menghilangkan sebagian anggota keluargaku dan anggota keluarga teman-temanku. Hatiku sedih jika mengingatnya, air mataku mengalir karena tak bisa menutupi kesedihanku. Kesedihan yang teramat dalam, luka yang sangat parah hingga sulit diobati. Aura, adik perempuanku yang juga menjadi salah satu korbannya. Kenapa harus dia? dia masih kecil, masih banyak yang harus dia lakukan di dunia ini. Andai saja aku bisa memutar waktu, biarkan saja aku yang menjadi korbannya. Aku belum bisa terima jika adikku menjadi salah satu korbannya. Haruskah aku marah kepada Tuhan! karena Dia telah mengambil belahan jiwaku. Ah..., itu hanya perbuatan yang bodoh, yang hanya akan membuatku jauh dari-Nya. Aku selalu mencoba untuk iklas melepaskannya. Karena aku percaya bahwa akan ada hikmah dibalik setiap kejadian yang terjadi di muka bumi ini. Dan aku percaya bahwa Allah itu maha Penyayang yang tak akan memberikan ujian di atas batas kemampuan hamba-Nya. “Ya Allah, buanglah jauh-jauh ingatan tentang kejadian itu, aku ingin melanjutkan perjalanan hidupku tanpa terbebani kejadian itu.” Keluhku. Setelah bencana itu, aku dan beberapa temanku dipindahkan ke luar kota, mereka ingin kami dapat melanjutkan pendidikan serta meraih semua cita-cita tanpa harus terbebani oleh tragedi yang menyedihkan itu. Oleh orang tuanku aku dipindahkan ke jogja dan selama di Jogja aku belum pernah pulang ke kampung halamanku. Meskipun libur panjang, aku lebih memilih menikmati liburanku di Jogja. Malam ini aku di rumah sendiri. Bowo dan Arif sedang pergi ke rumah Arman untuk belajar kelompok. “Angin, sampaikanlah salam rinduku pada malaikat kecilku yang sedang menungguku di surga.” Kataku lagi. Adzan Isya’ mulai terdengar. Aku berdiri melangkah meninggalkan kursi yang sedari tadi setia menemaniku dan pergi ke masjid. Ingin kucurahkan segala isi hatiku kepada sang Maha Kasih Sayang. Kepada-Nya ingin kusampaikan rasa rinduku pada bibidari kecilku di surga. ### Bismillahirrahmanirrohim Kuawali pagi ini dengan senyum dan semangat, harapan dan masa depan yang cerah. Pagi ini, udara terasa segar. Angin pun bertiup menyapa dedaunan sehingga melambai-lambai begitu indahnya. Aku bersama teman-temanku berangkat ke sekolah. Berjalan menyusuri jalan desa yang juga tak kalah ramainya dengan jalan raya. Kami berjalan diantara kesibukan pagi. Pepohonan yang rindang di pinggir jalan sedikit membantu mengurangi pencemaran udara. “Tadi malam kalian pulang jam berapa?” tanyaku. “Sekitar jam sembilan.” Jawab Bowo. “Kita pulang kamu sudah tidur.” “Liburan semester nanti kamu pulang gak Bud?” tanya Arif. “Sepertinya aku gak pulang.” “Kenapa?” “Masih ingat bencana banjir itu, atau masih belum terima atas kepergiaan Aura?” “Sudahlah Bud, iklaskan saja. Kalo boleh jujur, sebenarnya aku juga masih belum percaya kalau kakakku itu juga jadi korbannya.” Ucap Bowo. “Beneran Bud, kamu gak pulang?” “Kamu gak kangen dengan kampung kita?” “Sudah satu tahun lo kamu tidak pulang, kamu pasti heran melihat perkembangan kampung kita setelah bencana itu. Nah, yang terpenting lagi setiap kali aku pulang, Runi selalu menanyakan kabarmu padaku.” tambahnya lagi meyakinkanku. “Sepertinya Seruni perhatian sama kamu, soalnya setiap kali kita pulang dia pasti menanyakan kabarmu.” Arif tak mau ketinggalan. Aku hanya bisa diam tak menjawab semua pertanyaan mereka. Mereka selalu saja membujukku untuk ikut pulang setiap liburan. Aku selalu saja menolak karena aku masih belum percaya kampungku diterjang banjir dahsyat yang menelan banyak korban dan Aura menjadi salah satu korbannya. Aku masih belum sanggup menyaksikan kampungku kembali. Meskipun Bowo dan Arif selalu menceritakan keadaan kampung setelah bencana. Tak sedikit pun aku tertarik dengan cerita mereka. Aku masih menganggap kampung itu telah menorehkan luka di hatiku. Sejenak aku berpikir. Kenapa aku marah! Kenapa aku kesal! Siapa yang harus bertanggung jawab? Bukankah ini semua adalah ujian dari Allah. Dan Allah itu memberi ujian karena Allah itu sayang kepada kita, dan Dia tidak mau kita jauh dari-Nya. Ya Allah, jika itu adalah ujian dariMu, berikanlah kami kesabaran dan keiklasan untuk menjalaninya. Masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang bertaqwa. Dan jika itu memang murkaMu. Ampunilah kami, manusia yang tak bisa menjaga amanahmu, yang terlalu mementingkan hawa nafsu. ### Ku perhatikan ruang perpustakaan ini, dengan penataan rak buku yang rapi serta pewarnaan dinding yang serasi membuatnya nampak bersih sehingga para siswa lebih menghabiskan waktu di sini daripada di kantin sekolah. Mataku menoleh kanan kiri, mencari rak buku matematika. Rak itu terletak di pojok kanan sehingga tak terlihat dari pintu. Kuambil satu buku yang akan kupinjam. “Saya pinjam buku ini bu?” “Mana kartu anggotamu?” Aku sodorkan kartu anggota perpustakaan yang telah kupersiapkan. “Sekedar memberi tahu, kartu ini juga bisa digunakan di perpustakaan lain yang berlebel sama, baik itu di perpustakaan sekolah, perpustakaan kota maupun perguruan tinggi.” Tambahnya. Aku sedikit heran mendengar penjelasan penjaga perpustakaan itu. Aku baru tahu kalau kartu ini dapat digunakan di perpustakaan lain. Pantas saja, biaya pembuatannya pun sedikit mahal untuk ukuran pelajar sepertiku. “Terima kasih atas informasinya.” “Sama-sama.” Aku keluar dan di depan kelas satu tepatnya disamping perpustakaan aku melihat gadis berkerudung putih sedang duduk di sana. Dia asyik membaca buku. Aku penasaran dengannya. Kupaksakan memberanikan diri untuk menghampirinya. Jantung pun mulai berdegup kencang dan semakin kencang. “Assalamu’alaikum.” Sapaku sedikit gugup. “Wa’alaikum salam.” Jawabnya lembut dengan sedikit senyuman. “Boleh aku masuk?” Dia hanya tersenyum. “Lagi baca apa? kok kelihatannya serius banget?” tanyaku sedikit basa-basi. “Lagi baca cerpen. Kamu juga suka baca cerpen?” “Lumayan sih, biasanya aku baca cerpen kalau pas lagi gak ada tugas dan males baca buku pelajaran. Gar gak bosen ya aku baca cerpen.” “Iya sih, daripada waktu kita terbuang sia-sia. Kalau waktu luang kusempatkan baca buku entah itu cerpen, novel atau pun buku pengetahuan lain. Aku pernah baca sebuah buku kalau kita menyia-nyiakan waktu kita termasuk orang-orang yang merugi. Nah karena aku gak mau termasuk orang yang merugi, maka kugunakan waktuku sebaik mungkin.” “Kok berdiri terus? sudah mau pulang ya ?” tanyanya. “Gak juga.” “Kalau begitu duduk saja dulu, jangan berdiri terus kayak patung saja.” Aku duduk disamping kanan gadis itu. Ku perhatikan dia sangat serius membaca, aku tak mau mengganggunya. Tapi aku masih penasaran dengannya. “Kalo boleh tahu, nama kamu siapa? dari tadi kita ngobrol kok belum kenal.” tanyaku sedikit gugup. “O ... iya sampai lupa. Saya Aisyah.” “Aku Budi.” Kuulurkan tanganku kepadanya selayaknya orang yang sedang berkenalan. Dia menoleh ke arah ku dan hanya membalasnya dengan senyum. Dari situ aku mengerti apa yang dimaksudnya. Melihat senyumnya yang manis itu jantung semakin tak karuan. Duhai gadis manis yang ada di depanku. Seandainya saja engkau tahu getaran jantung ini, pasti jantungmu juga akan mengikuti getaran jantungku. ### Siang tadi udara begitu panas, namun sore ini langit terlihat mendung dengan awan yang menghitam, angin pun semilir menerpa dedaunan menyebabkan udara sedikit dingin. Perlahan hembusan angin semakin kencang, langit pun juga semakin hitam. Aku mulai khawatir dengan keadaan ini, sebenarnya apa yang akan terjadi. Akankah akan ada bencana? Ku lihat Arif dan Bowo juga mulai panik melihat keadaan di luar yang mulai tak karuan. Mereka mondar-mandir, mungkin karena mereka juga masih trauma dengan bencana setahun lalu. Kami bertiga berada di dalam rumah. Mengitip dari jendela melihat keadaan di luar. Ternyata angin semakin besar, suaranya gemuruh dan tak jelas. Memutar-mutar tanpa kendali. Kami hanya bisa berharap semoga tidak ada korban akibat ulahnya. Ya Allah, mengapa Kau tunjukkan lagi kuasaMu. Kami tidak tahu ini merupakan ujian ataukah cobaan. Kami hanya bisa berharap semoga ini dapat dijadikan pelajaran berharga dan dapat dijadikan sebagai peringatan. Ya Allah, lindungilah kami dengan kasih sayangMu, bimbinglah kami agar kami tetap berada di jalanMu. Angin puting beliung ini telah memporak-porandakan desa, membuat desa yang dulu indah kini tak berbentuk lagi. Warga pun semakin panik, lebih-lebih mereka yang rumahnya menjadi pelampiasan kemarahannya. Suara gumuruh disertai teriakan warga yang panik membuat hatiku sedih dan mengingatkanku pada bencana setahun lalu. Aku hanya bisa pasrah serta memohon perlindunganNya supaya kami semua tak menjadi korban dalam bencana ini. Segalanya kuserahkan kepadaNya, karena keputusanNya adalah keputusan yang terbaik bagi hambaNya. “Kita harus bisa menyelamatkan diri. Jangan sampai kita jadi korban.” Teriak Bowo. “Kita mau kemana? Di luar angin semakin besar. Sebaiknya kita di sini saja lebih aman. Kita berdo’a semoga angin itu tak menerjang rumah kita.” Teriak Arif. Aku hanya diam mendengarkan teriakan mereka. Arif benar juga sebaiknya kami tetap di sini, karena angin itu belum menerjang rumah ini. Dia masih sibuk dengan pohon-pohon besar dan tiang-tiang yang ada di pinggir jalan. Sudah hampir 20 menit angin itu lalu lalang di sini, tapi belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Mau sampai kapan dia di sini? Apakah masih menunggu desa ini hancur tak berpenghuni? Ini adalah kehendak Allah, kalau Dia belum memerintahkan berhenti maka angin ini pun juga tak akan berhenti meskipun desa ini sudah rata dengan tanah. Kun Faya Kun, Jika Allah menghendaki maka terjadilah. Ini firman Allah. Kekuasaan Allah tak terbatas dan tidak ada yang menyamai kebesarannya. Adzan Maghrib segera berkumandang. Kami berharap semoga bencana ini berakhir dengan datangnya. Alhamdulillah, seiring dengan berkumandangnya Adzan Maghrib, amukan angin pun semakin surut dan perlahan menghilang. Kami panjatkan Syukur Alhamdulillah kepada Allah yang sampai saat ini masih menyayangi kami semua. “Karena bencana sudah berakhir, ayo kita ke masjid!” Ajak Bowo. Aku dan Arif mengiyakan ajakan Bowo, kami bertiga pergi ke masjid, bersujud kepada Allah, serta mengucapkan terima kasih yang teramat besar. Dengan bencana ini, kita bisa mengambil hikmahnya serta menjadikan kita umat yang bertaqwa kepada Allah. Amin. By : Dharma Lana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat datang di blog RUMAH BACA, Terima kasih telah berkunjung di blog kami.. Semoga anda senang!!