.quickedit{ display:none; }

Senin, 20 Februari 2012

FARIDA

 HATIKU GELISAH


            Malam ini nampak berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Suara binatang malam riuh rendah mendendangkan nyanyian alam. Saling bersautan memecahkan keheningan malam. Sisa rintik-rintik hujan pun tak mau ketinggalan. Malam ini bukanlah kali pertama mataku tak bisa terpejam. Seakan terasa terganjal ranting pohon yang menghalangi menutup mata. Langit-langit kamar pun seakan memandangiku, penasaran melihat tingkahku. Di atas tempat tidur, aku hanya bolak-balik badan.
            “Ya Allah, sebenarnya apa yang sedang kupikirkan, mataku sulit terpejam, hati pun terasa tak tenang,” gumamku dalah hati.
              “Aku tak bisa membohongi perasaanku, semakin kupikirkan perasaanku semakin sakit, bagaikan diiris-iris pisau tumpul yang tak henti.
            “Jangan biarkan aku terbawa oleh perasaan ini, perasaan yang tak jelas yang membuat hati gundah,” tambahku.
            “Kau kenapa, Mir ?” Tanya Husen. Teman sekamarku di asrama. Husen mencoba mendekatiku untuk menenangkan hatiku. “Kalau kamu punya masalah cerita saja, aku siap mendengarkannya, mungkin itu bisa sedikitmengurangi kegelisahanmu.
            Aku diam saja, aku masih larut dengan perasaanku yang masih belum jelas. Husen juga ikut diam, ikut berbaring disampingku semabri memandangi langit-langit kamar yang tak begitu tinggi. Sesekali Husen menoleh ke arahku tak tega melihat yang nampak gelisah.
            “Mir, ceritalah padaku,” pinta Husen lagi yang semakin bingung melihatku.
            “Kita kan sudah kenal lama,  jadi sudah seharusnya kita saling bantu, jika satu ada masalah maka yang satu juga akan membantu menyelesaikannya. Sama dengan kamu, kalau kamu ada masalah, maka aku akan bantu kamu semampuku.
            Husen masih saja berusaha membujukku supaya aku mau bercerita tentang masalahku. Tapi aku masih tak menghiraukannya.
            “Ya sudahlah kalau kamu tidak mau cerita, aku tidak memaksa.” Husen mulai kesal dengan sikapku. Dia memandangi langit-langit kamar lagi untuk mencoba menghilangkan rasa kesalnya.
            “Sen, bukannya aku gak mau menerima bantuanmu. Aku saja masih bingung dengan perasaanku sendiri. Beberapa hari ini, aku selalu gelisah. Perasaanku tidak tenang,” kataku menjelaskan.
            Husen mulai mendengarkan ceritaku dan membuang rasa kesalnya. Dia sangat memperhatikan kata demi kata ucapanku dan mencoba mencernanya agar mendapat solusi yang bisa membantuku.
            “Akhir-akhir  ini Aku selalu teringat keluarga di rumah, sepertinya ayahku selalu memanggilku memimta aku untuk pulang sebentar. Aku bingung, apakah aku harus pulang atau tidak ?”
            Husen mulai mengerti satu permasalahan yang aku hadapi. Dia tak langsung bicara, tapi masih menunggu ceritaku berikutnya. Sejenak kami terdiam, memandangi langit-langit kamar yang tak begitu tinggi. Di kamar yang tak begitu besar ini, kami menghabiskan waktu setelah disibukkan dengan bermacam-macam mata pelajaran yang begitu padat dan memeras otak. Dan sesekali saling memandangi dan memberi senyum untuk memecahkan keheningan malam dan mencoba menghibur Amir. Kamar ini pula yang menjadi saksi aktifitasku selama satu setengah tahun bersama Husen di asrama. Kami saling bercanda, berdiskusi dan tak ketinggalan bertengkar. Husen menatapku sembari tersenyum.
“Kenapa Sen”, Tanyaku penasaran.
“Gak, lucu aja ngeliat kamu, bingung beberapa hari cuma karena kangen keluarga di rumah,Husen masih tersenyum, melihat raut mukaku yang mulai memerah.
“Sudahlah Mir, jangan terlalu dipikirkan. Kalau kamu memang kangen dengan keluargamu, kamu bisa telpon mereka. Kalau gak ada uang, pakai uangku dulu gak apa-apa.” Husen mencoba menawarkan bantuan lagi padaku.
“Mir, pakailah saja dulu uangku. Gak usah sungkan. Aku iklas kok,” Husen masih mencoba manawarkan bantuan, tapi aku diam saja. Aku masih penasaran dengan perasaanku.
Ku pandangi dinding kamar  yang  warnanya mulai kusam, dengan harapan mendapat satu jawaban. Ku pandangi jendela kayu yang berkuping dua. Hasilnya pun sama. Mereka diam saja tak meresponku. Malam semakin larut. Binatang malam masih saja berdendang, tak lelah menemaniku melalui malam yang cukup melelahkan. Husen masih saja diam menunggu jawabanku atas tawarannya. Dia tak memaksaku untuk menerima bantuannya. Karena jika aku memang benar-benar butuh aku akan meminjamnya. Husen memang selalu membantuku ketika aku kesulitan.
“Sudah larut malam, aku mau tidur dulu ?” katanya sembari bangkit dari tempat tidurku dan berpindah ke tempat tidurnya yang kebetulan bersebelahan. Karena ukuran kamar yang tak begitu luas. Tempat tidurku dan tempat tidur Husen berdekatan hanya dibatasi oleh meja belajar yang juga tak begitu besar.
“Mir, nanti kalau jadi pinjam uang, bilang aja. Gak usah malu,” tambahnya mengingatkanku. Husen langsung berbaring di tempat tidurnya, tak kuat lagi menahan kantuknya.
“Iya” Jawabku singkat.
Tak lama Husen sudah terlelap, mungkin kelelahan karena tadi pagi kami mengadakan bakti sosial di lingkungan sekolah. Dalam rangka menyambut tahun baru hijriyah.
Jarum jam menunjukkan pukul 00.00. Namun aku masih saja tak bisa memejamkan mata. Binatang malam semakin asyik berdendang, saling saut-sautan memecahkan keheningan malam. “Ya Allah, berikanlah hamba ketenangan hati, jangan biarkan hamba larut dalam perasaan  gelisah yang tak  jelas.” Aku teringat firman Allah
Allah, yang menciptakan kalian dari keadaan lemah, kemudian menjadikan sesudah kelemahan itu kekuatan, lalu menjadikan sesudah kuat itu lemah kembali dan berubah ...”(Ar Rum 54)
Allah menciptakan kita dari keadaan lemah, dan sesudah kelemahan itu akan kuat. Aku percaya Allah akan memberiku kekuatan yang luar biasa setelah kelemahan ini berakhir.
Tak bosan kupandangi langit-langit kamar yang setia menemani kegelisahanku selama ini. Sesekali ku pandangi Husen yang semakin terlelap dalam tidurnya. Rasanya aku iri dengan Husen yang bisa menikmati malamnya dengan tenang. Husen nampak tenang dan menikmati mimpinya yang mungkin saja indah.
Sepintas aku teringat pesan Pak Hanafi, pengasuh asrama putra yang disadur dari hadits nabi yang indah dan mudah dicerna.
Mintalah fatwa pada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tentram jiwa padanya, dan tentram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya” (HR. Muslim)
Pak Hanafi selalu memberikan pesan-pesan yang bijaksana kepada seluruh siswa di asrama. Jadi tidak heran kalau Pak Hanafi itu melekat dalam hati dan ingatan seluruh siswa. Mengingat pesan Pak Hanafi ini hatiku terasa lebih tenang.
Terima kasih ya Allah engkau telah mengirimkan Pak Hanafi dan teman yang baik pada hamba. Hamba akan selalu ingat akan firman-firmanMu yang bisa menyejukkan hati.
Perlahan hatiku mulai tenang. Aku mencoba memejamkan mata yang sedari tadi tak terpejam sedikit pun. Aku berharap kali ini aku bisa menikmati malamku dan merajut mimpi indah yang diiringi lantunan binatang malam yang semakin malam semakin indah didengar. Oh, bahagianya hatiku jika itu terjadi. Sejenak aku terlelap. Mataku terpejam, hatiku tenang.
“Amir ...”
“Amir ...”
“Amir ...”
Suara itu perlahan memanggilku, suara yang lembut. Begitu jelas memanggil namaku, suara yang sepertinya tidak asing lagi. Aku terbangun dan mencoba mencari sumber suara itu. Aku melihat ke arah Husen. Dia masih saja terlelap, sepertinya dia tak mendengar suara misterius itu. Ku perhatikan sekitar ku, sudut-sudut kamar, mataku tertuju pada bingkai foto yang ku taruh di meja belajar. Aku mendekati bingkai itu, kuperhatikan gambarnya. “Siapakah suara itu ?”. gumamku penasaran sembari memandangi foto masa kecilku.
Aku mencoba tak menghiraukan lagi suara itu, ku letakkan kembali bingkai foto itu ditempatnya semula. Ku pejamkan perlahan untuk melanjutkan tidurku yang sempat tertunda.
“Amir, tenangkanlah dirimu. Jangan hiraukan perasaanmu.” Suara itu terdengar lagi. Bahkan semakin jelas dan dekat terdengar. Muncul kembali pertanyaan-pertanyaan yang mulai lenyap. Siapakah dia, dan kenapa dia memanggilku. Mungkin ini Cuma halu sinasi saja,  yang terbawa oleh perasaanku yang tak jelas.

#####

            “Amir, bangun sudah subuh,” Husen perlahan membangunkanku. Dia menepuk-nepuk bahuku. “Amir ... Amir,” Katanya lagi.
            Karena lelapnya tidurku, aku tak mendengar suara Husen dan merasakan tepukannya. Karena tak ada respon dia membiarkanku meneruskan mimpi-mimpiku yang sempat terganggu. Husen meninggalkanku sendiri. Dia pergi ke masjid yang berada di lingkungan asrama. Dia keluar tanpa memperhatikanku. Dengan pakaian gamis putih dan sarung hijau, dia melenggang ke masjid. Para santri yang lain pun juga sudah berkumpul di masjid. Tinggal aku saja yang masih terlelap tidur.
            Tak lama aku mulai terbangun, ku lihat jam di meja belajar. Jarumnya menunjukkan pukul 04.25. “Astaghfirullah”, aku terhentak seperti kebakaran jenggot. Ku ambil handuk  dan berlari ke kamar mandi untuk cuci muka dan berwudlu. Ku ambil baju gamisku yang masih tergantung di samping almari. Tanpa menuggu lama aku berlari sambil memakai sarung ke masjid.
            Nafasku terengah-engah, denyut nadiku berdenyut kencang. Di depan masjid, kupandangi teman-temanku yang sudah duduk rapi berjajar mengikuti shof  yang telah dibuat. “Alhamdilillah belum terlambat”, gumamku sedikit lega. Nafasku masih sedikit terengah-engah, kucari shof yang masih kosong.
            Tak lama kemudian, Hasan mulai iqomat.  Seluruh jamaah berdiri bersiap-siap meluruskan shof. “Allahu Akbar,” Pak Hanafi mulai takbirotul ikhrom. Seluruh jamaah mengikuti gerakan Pak Hanafi hinggan salam. Setelah solat kami berdoa masing-masing. Sambil menunggu kuliah subuh dimulai. Hari ini yang mengisi kuliah subuh ialah Kak Rabbi, kakak kelas ku yang juga tinggal diasrama. Dia termasuk salah satu santri yang berani, meskipun tidak terlalu pandai, tapi selalu aktif dalam kegiatan baik yang diadakan disekolah maupun di asrama. Aku bangga punya teman seperti dia. Dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, kulit sawo matang dan rambut sedikit bergelombang. Dia selalu percaya diri.
            Berbeda dengan Husen, pemuda bertubuh tinggi, kulit putih dan rambut hitam lurus, yang membuat para gadis terpesona jika melihatnya. Selalu kurang percaya diri dengan penampilannya. Aku sering dibuatnya bingung dan kesal, hanya karena bingung memilih baju yang akan dipakai ke hajatan teman. Hampir satu jam dia berdiri di depan kaca, membolak-balikkan badan, seperti model yang berlenggak-lenggok di atas catwalk.
            Kak Rabbi mulai mengambil posisi, dia duduk disamping Pak Hanafi dengan meja kecil yang telah dipersiapkan untuk meletakkan materi kuliah yang akan disampaikan. Dalam materi kuliah yang disampaikan, banyak sekali pesan yang ditujukan kepada kita semua sebagai generasi islam. Generasi muda yang harus bisa menjadi panji-panji perubahan yang menjadikan agama islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamin

Kawan-kawanku semua yang di rahmati Allah,
Perlu kita ingat, bahwa kita semua adalah generasi islam, generasi yang sangat diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik, dan kita harus yakin. Bahwa Allah itu selalu bersama kita. Allah melindungi kita.
Sebagai seorang pemuda muslim, kita harus selalu dapat bermanfaat bagi orang lain, jangan sampai kita memanfaat orang orang lain lebih-lebih kita sendiri yang dimanfaat orang lain.
Dalam berita televisi juga disebutkan, bahwa teroris itu selalu mencari korban dari kalangan pemuda, yang mereka anggap masih memiliki pemikiran yang labil, mudah dipengaruhi. Selain itu kita juga mengenal istilah negara islam indonesia yang juga mencari mangsa dari kalangan pemuda.

Sahabat muda yang saya banggakan,
Sebagai pemuda muslim, kita harus selalu meneladani sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW, yang selalu mengajarkan kebaikan-kebaikan kepada para sahabat dekatnya dan seluruh umat manusia. Selain Nabi Muhammad, kita juga mengenal tujuh pemuda Askahbul Kahfi yang memegang teguh agama Allah.
Agama adalah amanah yang harus dijaga, dipupuk dan dipelihara dengan sebaik-sebaiknya.

Sahabatku yang berbahagia,
Ini yang terpenting yang menjadi cacatan kita, yakni firman allah dalam Surat Yusuf ayat 55
“Dan aku tidak terlepas diri dari (kesalahan) nafsuku. Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Allah selalu mengingatkan kita untuk tidak selalu menuruti hawa nafsu, karena nafsu itu bisa menuntun kita untuk berbuat keburukan. Lebih-lebih kita semua yang masih muda, yang belum bisa menahan hawa nafsu. Yang masih menyukai kesenagan-kesenagan dunia.

            Itulah kuliah subuh yang disampaiakan kak Rabbi pagi ini. Sederhana memang, tapi penuh dengan pesan yang ditujukan kepada kita semua sebagai pemuda muslim, generasi umat. Di asrama putra ini, Rabbi termasuk santri yang disegani, karena kepiawaiannya menyampaikan tausiyah, bahkan dia sering diminta oleh pimpinan asrama untuk mengisi khutbah Jum’at di masjid jika Pak Hanafi berhalangan hadir.
            Subhanaallah,  Allah benar-benar  Maha  Adil, Rabbi yang punya tampang pas-pasan diberi kelebihan pandai berpidato dan berbicara. Memang Maha Adil yang tidak ada yang menyamainya. Setelah kuliah subuh selesai, para santri kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap mengikuti olahraga pagi dan bersih lingkungan.

*******
Para santri masih sibuk membersihkan lingkungan asrama. Aku dan Husen membersihkan sekitar kamar kami. Santri lain membersihkan lingkungan di luar asrama. Bersih lingkungan ini kami lakukan setiap pagi setelah olahraga pagi. Tujuaanya agar asrama tetap terlihat bersih meskipun ini adalah asrama putra. Pengasuh asrama tak mau melihat asrama binaannya kotor seperti asrama-asrama putra pada umumnya, yang terlihat kumuh tak terawat.
“Gimana Mir, tidurnya semalam ?”
Husen mulai mananyakan tidur tadi malam, yang menurutnya aku tidur nyenyak. Memang benar  kata Husen, tidurku sangat nyenyak semalam. Tapi dia tidak tahu, jam berapa aku bisa memejamkan mata.
“Alhamdulillah,” jawabku ringan.
Husen berhenti menyapu lantai. Dia mendekatiku memastikan jawabanku tadi.
“Alhamdulillah, gimana maksudnya ?” tanyanya lagi penasaran.
“Alhamdulilah aja,” jawabku.
Aku tak begitu memperhatikan pertanyaan Husen. Aku melanjutkan pekerjaanku menyapu lantai asrama yang belum selesai. Mendengar jawabanku, Husen diam saja tak menyakannya lagi. Mungkin sudah puas dengan jawabanku. Kami saling diam tak bicara satu sama lain. Sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku menyapu lantai asrama dari lantai bagian depan hingga bagian belakang dan dibantu oleh Raihan dan Azam. Husen dibantu oleh Yusuf, Marwah, Rino dan Zulfi menyapu bagian dalam asrama, mulai dari koridor asrama, kamar-kamar asrama dan serambi asrama. Sedangkan teman-teman yang lain membersihkan lingkungan sekitar asrama seperti jalan masuk asrama, jalan yang menghubungkan asrama dengan rumah-rumah penduduk. Asrama putra tidak begitu besar. Aku Hanya dihuni oleh 20 orang santri. Sedangkan asrama putri berukuran lebih besar. Yang dapat menampung 30 santri. Asrama putri letaknya tidak terlalu jauh dengan asrama putra, mungkin sekitar 100 meter.
Dari depan, nampak Roni berlari mendekatiku. Ku lihat dia masih berlari mendekatiku. “Amir ...” teriaknya. Aku menoleh ke arahnya dan menunggu dia mendekat. “Kamu dipanggil Pak Hanafi,” katanya dengan nafas agak terengah-engah.
“Memangnya ada apa ?” tanyaku sedikit penasaran.
“Aku kurang tahu.”
Tanpa menjelaskan apapun Roni kembali ke tempatnya semula. Husen masih sibuk dengan pekerjaannya. Ku letakkan sapu yang masih ku pegang. Aku mendekati Azam.
 “Zam ..., aku ke ruangan Pak Hanafi sebentar.”
Azam hanya membalas senyum, dan kembali menyapu lagi.
Tanpa berpikir panjang. Aku langsung menuju ruangan Pak Hanafi. Ruangan Pak Hanafi berada di ruangan paling depan asrama atau berada di pintu masuk asrama. Dengan cat warna biru muda, asrama putra nampak begitu rapi. Ku ketuk pintu ruangan Pak Hanafi. Daun pintu yang warnanya mulai kusam, mungkin karena sudah dimakan usia perlu segera direnovasi.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam,” Pak Hanafi menjawab salamku dari dalam ruangan.
“Masuklah Mir.”
Aku masuk perlahan. Di ruangan itu Pak Hanafi masih sibuk merapikan meja kerjanya. Aku mendekati beliau. Dia masih saja sibuk.
“Duduklah Mir,” katanya sembari merapikan tumpukan kertas yang tidak terpakai dimejanya. Aku langsung duduk di tempat yang sudah disediakan. Aku diam saja melihat Pak Hanafi yang masih bersih-bersih. Sambil menunggu Pak Hanafi selesai merapikan mejanya. Aku sempatkan memperhatikan ruangan Pak Hanafi, gambar demi gambar yang terpajang di dinding ku perhatikan. Banyak sekali gambar yang di pasang di dinding ruangan beliau. Gambar-gambar itu tersusun rapi. Di tata menurut ukuran bingkai. Di sisi lain, aku juga menemukan sebuah papan tulis yang dipasang tepat di depan tempat duduk Pak Hanafi, setiap Pak Hanafi duduk meja kerjanya. Tulisan di papan tulis itu terlihat jelas. Melihat tulisan dalam papan tulis itu, aku bisa menyimpulkan. Tulisan itu dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan setiap aktifitasnya. Papan tulis itu bertuliskan
“Jadikanlah hidupmu bermanfaat bagi orang lain,  dan jangan biarkan waktumu terbuang sia-sia. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini.”
Tulisan itu sangat sangat indah dan bagus untuk dijadikan motivasi bagi kita semua. Di samping kanan papan tulis terdapat gambar KH. Ahmad Dahlan dan disamping kiri terdapat gambar Buya Hamka. Mengenai gambar dua pahlawan nasional ini, aku belum bisa menafsirkan tujuan  Pak Hanafi. Tapi dalam pikiranku mulai muncul sedikit pertanyaan mengenai dua gambar pahlawan tersebut diletakkan di samping papan tulis. Pak Hanafi sudah hampir selesai merapikan mejanya. Aku kembali fukos pada gambar tadi. Mungkin karena besarnya jasa beliau, sehingga Pak Hanafi menganggap, beliau berdua ini pantas juga dijadikan sebagai motivasi dalam memperjuangkan Islam. Tentunya selain Nabi Muhammad SAW. Karena Nabi Muhammad sudah tentu dan wajib kita jadikan motivator kita dalam memperjuangkan Islam.
Pak Hanafi telah selesai merapikan mejanya. Beliau mulai duduk tepat di depanku.
“Mir ...,” Pak Hanafi mulai berbicara.
“Sebenarnya bapak memanggilmu, karena ada beberapa hal yang ingin bapak bicarakan. Pada Ahad bulan depan Asrama kita akan mengadakan kegiatan bakti sosial di daerah terpencil. Bakti sosial ini akan dilaksanakan selama tujuh hari. Dan bapak memilihmu sebagai koordiantor kegiatan ini. Karena bapak pikir kamu lebih berpengalaman dibanding teman-temanmu. Kegiatan ini akan diikuti oleh tingkat I dan tingkat II, untuk Santri tingkat III, akan kita fokuskan pada persiapan ujian akhir  nasional dan ujian akhir pondok/asrama,” jelas pak Hanafi.
“Bapak minta nanti kamu beritahu santri-santri yang lain, untuk kumpul di masjid nanti sore ba’da ashar. Untuk santri putri bapak minta Bu Suci untuk mengkoordinirnya.”
Aku menghela napas mendengar penjelasan Pak Hanafi.
“Insya Allah, nanti saya akan kasih tahu teman-teman yang lain,” jawabku.
Aku berpikir sejenak, tentang kegiatan bakti sosial ini. Bakti sosial akan diadakan Ahad bulan depan. Aku mulai berpikir, jangan-jangan ini nanti pas liburan semester. Kalau benar, berarti rencanaku untuk pulang pada libur semester nanti akan tertunda. “Ya Allah semoga hamba bisa pulang kampung. Dan bakti sosial tidak pas liburan semester nanti.”
“Gimana Mir ... sudah jelas.” Pak Hanafi menegaskan
“Insya Allah sudah pak.”
“Ya sudah kalau begitu, bapak tunggu nanti sore di masjid asrama putra.”
“Kalo begitu saya permisi dulu pak.”
Aku berdiri dan bersalaman dengan Pak Hanafi untuk kembali menyapu. Aku meninggalkan Pak Hanafi di ruangannya yang begitu  rapi dan bersih.

######

            Sore telah datang menyapa, aku dan santri yang lain bersiap-siap untuk menunaikan sholat ashar, Roni telah mengumandangkan adzan. Dengan suara yang indah ia mengumandangkan panggilan sholat itu. Sungguh indah karunia Allah. Kita diberi suara yang indah, otak yang cerdas, haruslah kita gunakan sebaik-baiknya untuk memperjuangkan  Agama Allah.
            Aku dan Husen berjalan menuju masjid. Kami sama-sama mengenakan baju gamis putih dan sarung yang biasa kami gunakan untuk ke masjid. Bukannya tidak punya ganti, tapi baju dan sarung itu adalah kesukaan kami. Baju dan sarung itu kita peroleh, karena kita mendapatkan hadiah dari asrama sebagai kamar terbersih semester kemarin. Satu persatu santri masuk ke dalam. Tanpa instruksi  dari Pak Hanafi, mereka langsung merapat ke shof-shof yang masih kosong. Aku dan Husen duduk berdekatan. Ku lihat santri-santri yang lain duduk tenang berdoa kepada Sang Maha Kasih Sayang. Aku pun mulai berdikir kepada Allah, agar selalu diberi kesehatan dan keselamatan, sehingga dapat menyelesaikan sekolahku dengan baik. Amin
            Kini gilaran Raihan yang mengumandangkan iqomah, suara Raihan tak kalah indah dengan suara Roni dan Hasan. Memang sebagian besar santri-santri disini memiliki suara yang indah. Santri-santri berdiri tertata rapi, memulai sholat mengikuti gerakan imam.
            Kami telah selesai mengerjakan sholat ashar. Kemudian berdoa masing-masing, memohon segala sesuatu kepada Sang Pemberi Berkah. Di asrama kita tidak diajarkan berdoa bersama-sama, tetapi berdoa masing-masing santri. Selesai berdoa, para santri berhamburan keluar menuju serambi masjid, tempat rapat koordinasi akan dilaksanakan. Sambil menuggu santri putri, mereka bercengkerama satu sama lain. Ada yang sampai terbahak-bahak, ada juga yang bicara pelan-pelan. Kadang aku ikut tersenyum mendengar celotehan anak-anak yang kadang lucu.
            Santri putri sudah terlihat, aku mengambil posisi, duduk disamping Pak Hanafi.
“Assalamu’alaikum”, sapa salah seorang putri santri yang juga sudah masuk ke serambi.
“Wa’alaikumsalam”, jawab kami
Santri-santri putri duduk dan membuat barisan disamping kanan santri putri.  Aku bersiap-siap memulai rapay koordinasi ini.
“Assalamu’alaikum,” kataku membuka forum ini. Aku pandangi seluruh santri. Mulai dari ujung kanan sampai ujung kiri. Seluruh santri memperhatikanku. Rasa minder mulai muncul, karena merasa masih harus banyak belajar. Tapi dengan mengucap Bismillahi rahmani rahim aku membuang rasa grogi dan mencoba tenang.
“Wa’alaikum salam,” jawab mereka serentak.
Aku mulai rapat koordinator ini, Hasan bertugas sebagi notulen atau sekretaris rapat. Selama sekretaris kegiatan belum terbentuk.
“Teman-temanku yang dirohmati Allah.”
Pada rapat koordinator sore hari ini, marilah kita buka dengan Basmalah bersama-sama.

Tujuan saya mengumpulkan teman-teman disini, tidak lain ialah karena pihak asrama akan mengadakan kegiatan bhakti sosial di daerah terpencil. Kita diminta untuk menjadi koordinator kegiatan tersebut. Pada sore yang cerah ini, kita akan mengadakan pemilihan panitia kegiatan, untuk yang terpilih sebagai panitia, diharapkan bisa bekerja semaksimal mungkin. Dan untuk yang tidak terpilih sebagai panitia bisa membantu teman-teman panitia. Karena natinya kita semua juga yang akan menjadi peserta bhakti sosial. Untuk kegiatan ini, hanya diikuti oleh santri tingkat I dan II baik putra maupun putri.

Tujuan kegiatan ini adalah untuk membantu saudara-saudara kita yang benar-benar membutuhkan, dan yang terpenting adalah untuk menyiarkan ajaran Islam. Kita diharapkan bisa memperkenalkan Islam kepada masyarakat yang belum begitu mengenalnya.

            Dalam rapat koordinator ini, terpilih panitia kegiatan, yaitu :
            Ketua   I                       : Amir Musthofa
            Ketua II                       : Muhammad Husen
            Sekretaris I                   : Siti Aminah
            Sekretaris II                 : Hasan Al Basri
            Bendahara I                  : Eka Fitriani
            Bendahara II                : Raihan

Sie. Kegiatan                : Roni Faizal, Azam Amiruddin, Aisyah, Tri Wulan
Sie. Konsumsi               : Mufadilah, Basaroh, Cinta, Salsabila, Rino dan Lukman
Sie. Humas                   : Ahmad Mahmudin, Zulfikar, Aji Pangetu.
Sie. Kesehatan              : Maulan dan Sinta

Demikanlah panitia kegiatan bhakti sosial yang telah terbentuk. Kepada seluruh santri yang terlibat diharapkan mampu bekerja sama dengan baik. Karena tanpa kerja sama yang baik kegiatan kita tidak akan bisa berjalan lancar.

Terima kasih atas perhatian teman-teman.  Untuk koordinasi selanjutnya, informasi menyusul. Saya cukupkan sekian.
Akhirukalam
Fastabiqul Khoirot
Wassalamu’alaikum,” kataku mengakhiri rapat ini.

“Wa’alikum salam,” jawab mereka serentak.
            Seluruh santri membubarkan diri dan kembali ke kamar masing-masing. Aku, Husen dan Pak Hanafi masih tinggal di serambi masjid. Kami mencoba bercengkerama, saling tukar pendapat dan pengalaman. Karena usia Pak Hanafi tidak terlalu tua, jadi kita bisa berdiskusi dengan enak.
            “Amir ...,” pak Hanafi mengawali pembicaraan.
            Aku menoleh ke arahnya. Diikuti Husen. Aku dan Husen terdiam menunggu ucapan Pak Hanafi selanjutnya.
            “Bapak tidak salah memilihmu, kamu memang berbakat menjadi seorang pemimpin. Begitu juga dengan Husen, kamu juga harus banyak belajar kepada Amir. Menurut bapak kalian berdua punya kharisma sebagai seorang pemimpin. Dan semoga kalian nanti kelak bisa menjadi pemimpin-pemimpin yang amanah, dan tidak seperti pemimpin-pemimpin kita seperti sekarang ini.”
            “Amin.”
            Sang surya mulai menuju ke peraduannya, cahaya memerah yang memancar membuat indah sore ini. Aku sangat kagum dengan setiap yang diciptakan Allah, semuanya memiliki keindahan yang tersimpan. Kami memandangi sang surya yang nampak indah.
            “Amir.” Kata Pak Hanafi melanjutkan.
            Untuk semester depan, bapak harap kamu bisa menjadi juara lagi. Karena ini bisa menjadi pelajaran bagi santri lain. Meskipun kamu itu berasal dari keluarga yang sederhana, tapi juga punya semangat  belajar  yang tinggi. Bapak bangga memiliki santri seperti kalian.”
            Mendengar ucapan Pak Hanafi itu, aku teringat dengan papan tulis dan gambar pahlawan yang mendampinginya. Aku masih penasaran dengan dengan itu semua. Husen tetap diam saja, tak berbicara satu patah kata pun.
            Sore ini langit nampak mendung, seakan hujan tak sabar untuk menjatuhkan diri. Angin pun bertiup cukup kencang. Mengombang-ambingkan dedaunan yang dilaluinya. Suara gemuruh tak mau ketinggalan meramaikan sore ini. Aku masih mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
“Pak Hanafi, maaf sebelumnya. Kalau boleh saya mau tanya ?”
“Mau tanya apa, Mir ... ?”
“Mengenai papan tulis dan dua gambar pahlawan yang mendampinginya. Kalo boleh tahu itu maksudnya apa ?”
Pak Hanafi menghela napas sebentar. Husen terkejut mendengar pertanyaaku.
“Memangnya kamu liat dimana?” Tanya Husen Penasaran.
“Oh, itu”. Jawabnya ringan
“Papan Tulis itu bapak gunakan sebagai cacatan, bahasa kerennya diary, yang setiap kali bapak baca, dan bapak ganti jika bapak punya suatu ide. Papan tulis itu juga bapak gunakan sebagai pengingat saja, kalau kita itu hidup tidak hanya sekedar hidup, kalau sudah meninggal ya sudah selesai semua urusan. Tetapi kita itu kita hidup karena kita punya tanggung jawab kepada Sang Pencipta dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Untuk gambar palawan itu, bapak jadikan sebagai motivator perjuangan bapak dalam melaksanakan tanggung jawab itu. Bapak merasa perjuangan dua beliau itu sangat besar baik untuk negara dan untuk agama.”
“Gimana sudah jelas.” Katanya mengakhiri penjelasannya.
  Aku dan Husen diam mendengarkan penjelasn Pak Hanafi. Kami mengangguk-anggukkan kepala. Husen masih saja bingung. Papan tulis dan gambar pahlawan yang mana yang ditanyakan Amir.
Dia mencoba menanykannya padaku.
            “Papan tulis dan gambar pahlawan yang mana Mir ....”
            “Papan tulis dan gambar Pahlawan itu berada di ruangan Pak Hanafi.” Kataku menjelaskan.
Husen mengangguk-anguk seperti orang yang sudah paham.
            Ternyata betul juga, apa yang dikatakan Pak Hanafi. Kita harus selalu berhati-hati dalam bertindak dan bersikap. Karena semuanya  itu akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Dan kita juga harus mempunyai seorang motivator yang bisa membangkitkan semanagat kita untuk menjadi lebih baik. Banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil dari pengalamanku masuk dan memperhatikan ruangan Pak Hanafi yang sederhana tetapi membawa inspirasi.
            Kami bertiga masih saja duduk di serambi masjid sambil menuggu maghrib. Aku duduk disamping kanan Pak Hanafi sedangkan Husen duduk di sampingku. Mendung masih saja menemani kami, seakan tak mau ketinggalan mendengarkan perbincanganku dengan Pak Hanafi. Memang Pak Hanafi selalu mencoba dekat dengan para santri disini. Dan Alhamdulillah usaha itu berhasil. Seluruh santri merasa nyaman dengan keberadaan Pak Hanafi. Beliau sangat sabar mengasuh kami, dermawan dan tidak membeda-bedakan kami, beliau menganggap semua santri sama, yaitu anak asuhnya yang harus dididik dan dibina agar kelak menjadi seorang muslim yang berguna.
            Sedari tadi Husen hanya diam saja tidak berkata satu kata patah pun, dia hanya mendengarkan perbincanganku dengan Pak Hanafi. Husen memang seperti itu, dia kurang memikirkan sesuatu yang berada di sekelilingnya. Maklumlah, anak seorang pegawai negeri sipil yang selalu kecukupan. Berbeda dengan keluargaku, yang sangat sederhana, dengan jumlah anggota keluarga yang lumayan banyak. Meskipun begitu, aku tetap bersyukur dengan keadaanku.









PESAN AYAH

             Hujan masih saja enggan turun. Padahal mendung hitam itu selalu memaksanya untuk menampakkan dirinya. Angin pun nampaknya sudah mulai lelah mengombang-ambingkan pepohonan dan segala sesuatu yang dilaluinya.
Daun pisang yang cantik nampak hancur karena amukan angin. Pepohonan pun terlihat berserakan karenanya. Mungkin marah karena hujan enggan turun dan enggan pergi.
            Perasaanku sempat panik melihat keadaan itu mungkin sama yang dirasakan Husen, cemas akan terjadi sesuatu yang besar. Aku sempat berpikir, apakah Allah akan menunjukkan kebesarannya melalui semua ini. Ataukah Dia memberi kita suatu peringatan agar kita tetap berhati-hati seperti yang dikatakan Pak Hanafi. SubhanaAllah, begitu besar kuasaan Allah yang menguasai seluruh alam semesta.
            Perasaanku sedikit  lega, angin perlahan reda, mendung pun sudah tak  menunjukkan kemarahannya. Angin dan mendung sudah bersahabat. Sudah tidak saling menunjukkan kekuatannya.
            Sejenak aku teringat  keluargaku di rumah. Terutama ayah, yang pernah muncul di mimpiku, memanggil-manggilku meminta aku untuk pulang meskipun hanya sebentar. Ayah memang orang yang begitu dekat denganku. Aku dan ayah sangat dekat, aku sering meminta nasehat pada hanya setiap kali aku mngalami masalah. Meskipun sekarang aku jauh dari ayah, namun aku merasa dekat dekatnya. Pesan-pesan ayah selalu kuingat dan mencoba untuk kuamalkan.
            Salah satu pesan ayah yang selalu kujadikan motivasi untuk rajin belajar ialah “Amir, kita memang orang  pas-pasan. Tapi ayah percaya percaya kamu bisa meraih mimpi-mimpimu. Ayah dan ibu sangat berharap kalau anak-anak ayah tidak mengulangi kehidupan kami.”
            Ayah selalu memberikan pesan-pesan bijak kepada anak-anaknya. Terutama kepadaku. Ada beberapa pesan ayah yang aku tulis dalam buku catatanku. Karena setiap kali aku lupa, aku bisa membacanya. Ayah memang yang bijaksana. Seorang pemimpin yang bisa dijadikan tauladan bagi keluarganya.
            Sebanarnya ayah bukanlah lulusan dari pondok pesantren. Atau bahkan mungkin tidak tamat sekolah dasar. Tapi cara berpikir ayah tak kalah dengan cara berpikir para sarjana. Mungkin karena tuntutan hidup yang memaksa ayah untuk berpikir secara logis dan bijak.  
            Lima belas menit lagi, maghrib akan menyapa. Para santri yang tadi kembali ke kamarnya kini bersiap-siap kembali lagi ke masjid. Aku, Husen dan Pak Hanafi pun juga bersiap-siap. Aku dan Husen mulai menyapu lantai masjid yang yang kotor karena ulah angin yang tak bertanggung  jawab. Pak Hanafi pergi ke Kamar mandi untuk mengambil air wudlu.
            “Mir, supaya cepat selesai, kita berlawanan arah saja. Kamu dari kanan aku dari kiri.”
            Aku menuruti permintaan Husen. Aku menyapu dari arah kanan sedangkan husen menyapu dari arah kiri. Masjid asrama tidak terlalu besar. Mungkin hanya butuh waktu sekitar 5-10 menit untuk menyapu lantai dalam masjid  dan serambinya.
Aku dan Husen cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan kami, karena para jamaah sudah mulai berdatangan. Meskipun belum terdengar Adzan, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan jamaah yang berusaha datang lebih awal sebelum Adzan dikumandangkan. Sungguh pemandangan dan tradisi yang sangat baik.
Aku juga kurang tahu sejak kapan tradisi ini berawal. Tapi semenjak aku tinggal disini. Masyarakat sudah terbiasa dengan tradisinya. Pertama kali aku melihat mereka. Aku sempat kurang percaya. Masyarakat yang sebagian besar petani, yang selalu disibukkan dengan pekerjaannya di sawah. Namun ketika mendekati waktu solat mereka berbondong-bondong ke masjid untuk solat berjamaah. Sungguh menakjubkan.
Kami hampir selesai menyapu lantai. Husen bergegas mengambil tempat sampah di gudang masjid. “Dasar angin, Cuma bisa bikin kotor saja.” Gumamku. Aku masih menyelesaikan pekerjaanku sembari menunggu Husen kembali membuang sampah. Ku lihat Pak Hanafi sudah mengambil posisi untuk melakukan Sholat takhiyatal masjid. Kupandangi beliau, setiap geraknya membuat aku merasa iri kepada beliau. Yang masih begitu muda tetapi sudah memiliki pemikiran yang cukup dewasa. Jika dilihat dari perjalanan hidupnya, Pak Hanafi tak jauh beda denganku, yang sama-sama dari keluarga yang sederhana. Karena tekad dan cita-cita Pak Hanafi yang kuat sehingga mampu mengantarnya menjadi seperti sekarang ini. Sungguh bahagia gadis yang mendapatkan Pak Hanafi.
Di asrama ini, aku mendapatkan banyak sekali pelajaran yang tidak aku dapatkan di sekolah. Disini aku dilatih untuk hidup mandiri, berpikir logis dan kritis namun masih pada koridor yang wajar, disiplin, tekun dan teliti dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu-satu.
“Ayo Mir, buruan disapu, keburu adzan.” Husen memintaku untuk segera menyelesaikannya. Cepat-cepat kuselesaikan. Husen menunggu ditangga masjid sambil memposisikan tempat sampah agar sampah yang aku sapu tidak berserakan lagi. “Nyapu kok sambil melamun,” katanya lagi ketus. Karena tadi Husen sempat melihatku melamun sebentar.

######

Malam sudah datang menyapa. Seluruh santri masuk ke kamarnya masing-masing untuk melakukan tadarus Al-Qur’an. Dengan suara yang indah mereka melantunkan ayat-ayat suci yang telah terangkai indah. Menambah suasana malam semakin indah. Malam ini binatang malam belum bernyanyi, sehingga yang terdengar hanyalah lantunan ayat-ayat cinta yang indah. Mendung hitam dan angin kencang yang tadi sempat menunjukkan kebringasannya, sekarang sudah tak menampakkan batang hidungnya lagi. Kini tinggal langit dengan taburan bintang-bintang yang selalu tersenyum pada siapa saja yang melihatnya.
Aku dan Husen masih bertadarus melantunkan ayat-ayatNya. Sambil menunggu jam makan malam. Seluruh santri diberikan waktu istirahat sebentar. Di waktu istirahat seperti ini, aku dan Husen hanya di dalam kamar. Tak tahu dengan santri yang lain, mungkin keluar asrama untuk mencari udara baru di luar asrama. Biasanya aku dan Husen hanya tidur-tiduran di tempat tidur, baca buku dan sering menulis puisi untuk mencurahkan isi hati.

Untukmu malam ini
Malam yang penuh dengan bintang
Serta rembulan yang tersenyum tanpa beban

Untukmu malam ini
Malam yang indah yang penuh doa
Doa seorang hamba yang berkelana
Mencari ilmu untuk bekal masa tua

Banyak sekali harapan
Banyak sekali angan-angan
Dan banyak sekali impian
Yang tersimpan dalam lubuk hati paling dalam

Tuhan .......
Dengarkanlah doa hambamu
Doa seorang anak jalanan
Yang ingin mendapatkan kebahagian Syurga


Menulis puisi dapat membuat hatiku lebih tenang. Seluruh kegundahan kutuangkan dalam tulisan. Berbeda dengan Husen. Dia lebih sering membaca buku-buku cerita yang dibawanya dari rumah. Meskipun berbeda, aku dan Husen sering kali bertukar pendapat tentang suatu hal yang menurut kami sangat perlu dibicarakan. Bisa dikatakan kami mengadakan sebuah rapat kecil-kecilan untuk mendapatkan sebuah opini dari sebuah permasalahan. Di depanku Husen sangat pandai berbicara dan mengeluarkan argumentasi yang cukup baik. Tapi sayangnya dia kurang berani berargumen jika berhadapan dengan banyak orang. 
“Amir, tak terasa ternyata kita disini sudah hampir dua tahun,” katanya.
Aku menolah ke Husen yang sedang merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Dia masih membaca buku.
“Iya, tak terasa kita sudah mendapatkan separoh  jalan di asrama ini.” Aku duduk di meja belajarku, menghadap ke arah Husen yang masih asyik dengan bukunya.  Husen tak begitu memperhatikan posisiku. Dia sibuk membolak-balikkan halaman demi halaman bukunya.
“Kamu mau baca to, kok dari tadi Cuma dibolak-balik ?”
“Mau tahu aja, lanjutkan saja belajarmu. Makan malam masih lima belas menit lagi.”
Husen masih saja membolak-balikkan halaman bukunya. Entah apa yang dia cari. Ku lanjutkan membacaku yang tadi sempat terhenti karena menulis puisi. Dengan lampu yang tak begitu terang aku buka lembar-lembar bukuku. Maklum saja, di asrama itu satu kamar hanya ada satu lampu dan satu meja belajar. Jadi, kalau belajar meja belajarnya bergantian dengan santri yang lain. Jam makan malam pun telah datang. Para santri berhamburan menuju dapur, tak terkecuali aku dan Husen. Kami antri satu persatu mengambil jatah makan. Sambil menunggu antrian para santri itu bercanda satu sama lain. Maklum namanya saja remaja, pasti selalu canda yang dibuatnya. Ku lihat Hasan asyik bercanda dengan Zulfi dan Roni, entah apa yang yang dibahas, mereka terlihat sangat asyik. Tak ketinggalan juga Raihan dan Faisal, mereka berdua lebih nampak serius dengan pembicaraan mereka, seperti orang-orang besar yang sedang berbincang-bincang tentang masalah politik.
Malam ini, nampaknya menu makan malam agak berdeda. Jumlah sayur dan lauk lebih banyak. Tidak tahu dalam rangka apa, yang jelas berbeda dengan biasanya. santri pun merasa senang dengan menu yang tersaji saat ini, mereka dapat makan lebih dan dapat memilih menu yang mereka suka.
Aku mengambil tumis kangkung dan tempe goreng. Menu ini makan kesukaan. Apalagi jika yang memasak ibu, sungguh nikmat rasanya.
“Kok Cuma ambil itu Mir,” kata Raihan.
Husen terlihat sibuk memilih menu-menu yang tersedia.
“Ayo Mir, ambil sebanyak-banyaknya, mumpung lagi banyak makanan,” teriak Husen yang lagi sibuk dengan piringnya.

###########

            Langit cerah, mendung yang tadi sore menghitam sudah tak nampak. Angin malam perlahan menyapaku yang sedang duduk di depan kamar asrama. Kupandangi langit cerah itu, sungguh menawan. Andai saja ada bintang yang nampak, pasti akan menambah indahnya malam ini. Malam ini tak terasa seperti malam kemaren. Hatiku lebih tenang dan lebih nyaman menikmati malam. Kubuka buku catatan yang sedari tadi pegang. Ku baca deretan tulisan yang tersusun rapi. Sengaja tulisan itu ku tulis agar aku tak bosan membacanya. Tulisan itu ialah kumpulan pesan ayah padaku. Setiap kali ayah berpesan, kucoba untuk menulisnya agar aku selalu ingat. Saat ini, aku merasa rindu dengan keluargaku. Aku teringat dengan tawa dan canda adik-adikku, santi dan ridwan. Sedang apa mereka. Mereka juga begitu dekat dengan ayah, sama sepertiku. Ayah memang selalu mencoba dekat dengan anak-anaknya.
            Santi sekarang berumur tujuh tahun dan sudah masuk ke sekolah dasar. Santi dimasukkan ke madrasah ibtidaiyah. Sedangkan ridwan sekarang duduk di madrasa tsanawiyah. Beban ayah cukup karena harus membiayai ketiga anaknya yang masih duduk dibangku sekolah. Karena itu aku harus bisa mempertahankan prestasiku di sekolah agar tetap mendapatkan beasiswa.
            Binatang malam belum mulai berdendang. Malam pun masih sepi. Hening tak ada satu pun suara.
“Lagi apa Mir ?”
Raihan datang dari samping kana. Mendekatiku mencoba menemaniku yang duduk sendiri.
“Husen kemana ?”
Katanya sembari duduk di sampingku.
“Mungkin dia sudah tidur. kekenyangan. Soalnya tadi makan terlau banyak.”
“Memang dasar Husen itu, belum bisa mengontrol makannya. Padahal dia itu sudah hampir dua tahun bersamamu, tapi kok belum bisa seperti kamu ya.”
“Seperti apa maksutnya ?”
“Ya seperti kamu, pinter, rajin pendiam, sederhana.”
“Ah, Biasa saja. Jangan terlalu memujiku nanti aku jadi GR.”
Kami berdua memandangi langit di sela-sela perbincangan. Aku diam, Raihan pun ikut diam. Raihan memandangi sekeliling asrama, yang terlihat terang karena sorot lampu yang terdapat disetiap sudut asrama. Raihan temanku satu kelas di sekolah. Dia termsuk anak yang rajin dan cerdas. Dia juga berasal dari keluarga sederhana sama sepertiku. Dia memiliki semangat untuk merubah diri. Dia selalu mengingat firman Allah, bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali dirinya sendiri. Sepertinya Raihan mempunyai motivasi yang sama denganku. Meski sudah hampir dua tahun kita kenal, namun baru kali aku ngobrol berdua. Aku lebih sering mengobrol dengan Husen dan Pak Hanafi.
“Mir, sepertinya malam ini begitu indah, mungkin pengganti malam—malam sebelumnya. Hatiku begitu tenang menikmati malaah tak bisa dikatakan dengan kata-kata.  Andai saja ada bintang-bintang yang tersenyum diatas sana. Pasti keindahan malam ini terlihat lengkap. Memang Allah itu Maha Indah, sehingga apa-apa yang diciptaknNya selalu terlihat indah.”
Aku heran mendengar ucapan Raihan. Kenapa dia bisa berkata seperti itu, apakah dia juga merasakan sama denganku. Yang selalu gelisah melewati malam-malam sebelumnya. Selain itu, ternyata Raihan juga bisa pandai merangkai kata-kata indah mengungkapkan keindahan malam ini.
“Iya, kamu benar Han. Aku juga merasakan sama denganmu. Malam ini nampak indah berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Malam ini begitu tenang, meski tadi sore sempat tak terkendali. Aku sangat menikmati malam ini, rasanya, aku tak ingin melawatkan malam ini. Malam yang begitu indah. Semoga malam-malam berikutnya tak kalah indahnya.”
“Oya, Mir. Tadi pagi, katanya kamu dipanggil Pak Hanafi, memangnya ada apa?, ada masalah dengan prestasimu ?”
“Gak, Pak Hanafi memanggilku karena beliau memintaku untuk mengkoordinir teman-teman dalam kegiatan bakti sosial. Kamu tahu tidak Han. Ruangan Pak Hanafi itu sangat rapi. Beda dengan kamar para santri, yang terlihat rapi jika akan ada peninjauan dari pihak asrama. Aku bangga punya pengasuh asrama seperti Pak Hanafi. Beliau bisa , dijadikan tauladan bagi kita semua. Subkhanallahin, andai saja semua pemimpin kita seperti Pak Hanafi, pasti negara kita akan aman dan tentram.”
“Memangnya ada apa di ruangan Pak Hanafi ?”
“Di dalam ruangan Pak Hanafi, aku melihat papan tulis yang disamping kanan dan kirinya terdapat gambar pahlawan nasional. Yaitu gambar KH. Ahmad Dahlan dan Buya Hamka.”
“Terus, tujuan papan tulis dan gambar pahlawan itu apa ?”, tanya Raihan penasaran.
Raihan juga nampak penasaran sama seperti Husen waktu mendengar pertanyaanku pada Pak Hanafi tentang papan tulis dan gambar itu. Memang selama ini Raihan belum pernah masuk ke dalam ruangan Pak Hanafi, karena Pak Hanafi jarang sekali menyuruh santri masuk ke ruangannya. Karena setiap kali ada perlu dengan santri beliau langsung mencarinya ke kamar santri tersebut.
“Menurut penjelasan Pak Hanafi tadi, papan tulis itu beliau jadikan sebagai catatan hidupnya, terus untuk gambar pahlawan tersebut dijadikan sebagai motivasi perjuangannya.”
“Wah bagus sekali itu, jadi kita bisa diingatkan oleh catatan kita sendiri. Dan kita bisa selalu terinspirasi dengan perjuangan para pahlawan yang tak kenal lelah. Memang Pak Hanafi itu berbeda dengan pemuda yang lainnya.”
Raihan merasa tergugah semangatnya mendengar penjelasanku. Sama sepertiku waktu mendengar penjelasan Pak Hanafi. Ku lihat Raihan mengangguk-amggukkan kepala, sepertinya memikirkan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Yang aku tahu dia mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar penjelasanku tentang ruangan Pak Hanafi. Mungkin dia juga terinspirasi dengan Pak Hanafi dengan papan tulis dan gambar pahlawannya.
Kami berdua diam lagi sejenak. Raihan masih sibuk dengan pikirannya dan aku mulai membuka buku catatanku yang dari tadi kupegang. Kubuka kembali tulisan-tulisan motivasiku. Ini bukan dari seorang motivator hebat, tapi tulisan ini adalah hasil karya pemikiran ayahku sendiri. Ayah memang hebat.
Di salah satu halaman kutuliskan pesan ayah
“Ayah tidak bisa mewarisimu harta yang melimpah, tetapi ayah hanya bisa mewarisimu ilmu yang banyak. Yang nantinya bisa kamu jadikan jalan untuk mendapatkan kebahagian. Karena kebahagian itu tidak diukur dari banyaknya harta. Tapi kebahagiaan itu akan tercipta jika kita merasa nyaman dengan orang-orang yang berada disekitar kita. Dan jadikanlah hidupmu bermanfaat bagi orang lain. Jangan sampai kamu memanfaatkan orang lain dan dimanfaatkan orang lain.”
Aku terenyuh membaca tulisan itu. Hatiku tergetar dan semangatku pun mulai membara. Ayah, aku akan berusaha menjadi apa yang ayah harapankan.
“Mir, itu buku apa ?” tanya Raihan
“Kok sepertinya sangat penting ?” tambahnya lagi.
Raihan sudah selesai dengan pikirannya. Dia mulai memperhatikanku dengan bukuku. Dia penasaran dengan buku yang aku pegang.
“Ini buku catatanku yang akau bawa dari rumah.”
“Maksudmu buku diari ya ?”
“Ah, gak juga. Ini buku catatan yang isinya itu pesan-pesan ayahku yang aku tulis agar tidak lupa”.
“O..., seperti itu to. Kamu hebat ya. Sama seperti Pak Hanafi, yang selalu menulis catatan yang nantinya dapat dijadikan kontrol kita dalam menjalani perjalanan hidup.”
“Ah, tidak juga.”
Aku merasa tersanjung dengan ucapan Raihan. Aku merasa biasa saja, tak sehebat yang dia bayangkan. Karena masih banyak orang-orang hebat di luar sana.
“Boleh pinjam bukunya Mir ?”
Raihan penasaran juga degan isi buku ini. Dia mencoba meminjamnya untuk dibaca sebentar. Tidak hanya aku saja mempunyai buku catatan, mungkin Raihan sendri juga punya. Bisa jadi lebih baik dari buku catatanku. Raihan mulai membaca satu persatu halaman buku catatanku. Dia terlihat tersenyum dan mengungguk-anggukan kepala membaca catatanku. Mungkin setuju dengan seluruh catatanku itu.
“Bagus sekali Mir. Isinya sangat menggugah jiwa dan mengobarkan semangat kita untuk terus berbuat baik dan terus belajar. Ayahmu itu seorang motivator ya ?”
“Tidak juga.”
“ La terus apa ?”
“Ayahku hanya seorang petani.”
“Jangan bohong kamu Mir ?”
Raihan kurang percaya dengan jawabanku. Dia tidak percaya kalau ayahku itu seorang petani. Dengan membaca catatanku itu, dia mengira ayahku seorang motivator besar.
“Iya, aku tidak bohong. Kalau kamu tidak percaya, nanti pas liburan sekolah kamu bisa main ke rumahku.” Untuk meyakinkan raihan tentang ayahku, kuajak dia untuk berkunjung ke rumahku.,
“Oya, Han. Pasti kamu juga catatan seperti ini ?”
“Punya sih, tapi tak sebagus ini. Dan juga isinya tak sebanyak ini. Aku hanya menuliskan pesan-pesan ayahku.”
“Itu kan juga sama, ini juga pesan-pesan ayahku.”
Raihan nampak mulai sedih setelah aku menanyakan buku catatannya. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Apakah ada yang salah pertanyaanku tadi. Aku jadi tak enak hati melihat Raihan. Dia menundukkan kepala. Mungkin dia mulai teringat dengan keluarganya di rumah. Raihan memang jarang sekali pulang ke rumah. Terakhir dia pulang waktu Idhul Fitri.
“Kamu kenapa Han ?” tanyaku “Kamu sakit ?”
“Gak, aku Cuma teringat ibu.”
“Kenapa ibumu ?”
“Aku kasihan dengan ibu, dia berjuang sendiri membesarkan anak-anaknya. Aku sedih karena aku belum bisa membuat ibu bangga padaku.”
Aku semakin  tak mengerti dengan perasaan Raihan. Dia bilang ibunya berjuang sendiri membesarkan anak-anaknya. Terus ayahnya kemana ?. Aku ingin sekali bertanya ayahnya kemana. Tapi takut Raihan nanti malah menjadi tambah sedih. Ternyata selama ini, ada yang lebih bingung dariku. Dulu aku perpikir hanya aku saja yang dilanda perasaan bingung.
“Sudahlah Han, kita berdoa saja. Semoga ibumu selalu diberi kesehatan dan kesabaran dan berjuang memelihara titipan Allah ini. Kita sebagai anak harus selalu berbakti kepada mereka. Agar mereka merasa puas dan bangga terhadap kita. Dan merasa berhasil dengan perjuangannya.”
“Han, aku dulu juga sempat berpikir seperti itu, belum bisa membuat bangga orang tua, tapi aku percaya pada diriku, aku bisa menjadi kebanggaan orang tua. Kita harus bisa seperti Pak Hanafi yang selalu percaya diri dalam setiap tindakannya. Selain itu, kita juga harus percaya akan kebesaran Allah yang selalu memberi jalan terbaik bagi umatNya yang bertaqwa.”
Aku berbicara panjang lebar. Bagaikan seorang ustad yang sedang memberikan tausiyah kepada santrinya. Memberikan motivasi kepada Raihan yang sebenarnya itu kuberikan untuk diriku sendiri. Aku dan Raihan mengalami hal yang sama. Perasaan tak karuan yang muncul dalam dalam diri karena kurangnya percaya diri.
Karena asyiknya ngobrol, tak terasa malam kian larut. Dendangan binatang malam mulai terdengar memencah keheningan malam. Bintang mulai tersenyum satu persatu, membuat malam semakin indah.
“Lihat Han, bintang mulai tersenyum pada kita. Mereka tahu apa yang kita rasakan.” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan agar Raihan tak teringat lagi pada ibunya. Raihan terpengaruh ucapanku. Dia menatap langit dan melihat senyuman bintang itu padanya. Raihan mulai tersenyum dan sedikit membuang rasa rindunya.
“Iya kamu benar. Bintang itu tersenyum pada kita. Seakan dia tahu apa yang kita rasakan.”
Binatang malam semakin indah berdendang. Sahut-sahutan memecahkan keheningan malam. Angin sepoy malam pun tak mau kalah. Dia melambai-lambaikan tangan menyapa kami berdua yang masih setia menemaninya. Di teras asrama kami berdua duduk berdampingan menyaksikan keindahan malam. Kami duduk menatap langit malam yang hitam dengan cahaya bintang.
Aku teringat pada buku yang pernah aku baca di perpustakaan sekolah. Imam Ghazali dalam bukunya menjelaskan “Puncak ilmu pengetahuan ialah apabila dirimu mngetahui sedalam-dalamnya makna taat dan ibadat. Taat dan ibadat ialah tunduk kepada Allah serta melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya baik dalam perkataan maupun perbuatan.” Ini sama dengan apa yang dikatakan Pak Hanafi tadi sore kalau kita harus selalu menjaga lisan dan tingkah laku kita, karena semua itu kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Sang Maha Pencipta.
“Amir, sudah larut malam. Kamu tidak istirahat ?”
Mungkin Raihan sudah mulai mengantuk, dia mengajakku untuk beristirahat. Dia memandangiku, menuggu jawabanku.
“Aku masih ingin disini Han, kalau kamu mau istirahat, duluan saja. Nanti aku menyusul. Aku masih ingin menikmati malam indah.”
Rasanya aku tak ingin melewatkan malam ini. Aku ingin menikmati malam ini hingga sang fajar menyapaku esok hari. Mataku masih tak rela untuk dipejamkan. Malam ini seakan menggantikan malam-malamku sebelumnya yang kurang bersahabat. Raihan masih saja menemaniku. Dia menatap langit kembali. Berharap bisa melewati malam ini bersamaku.
“Han, kadang aku  berpikir. Apa yang akan kita kerjakan nanti setelah lulus dari sini. Pulang ke rumah, membantu orang tua mengerjakan pekerjaan rumah. Apakah selamanya kita akan seperti itu. Dan apakah kita juga akan mengalami nasib yang sama dengan orang tua kita. Mau melanjutkan sekolah, tapi tak ada biaya.” Kataku sedikit lesu.
“Kadang aku juga berpikir seperti itu, tapi semakin aku pikirkan. Perasaanku semakin binggung, terus muncul rasa pesimis kalau kita tak bisa meraih apa yang kita harapkan. Ya sudahlah Mir, kita serahkan semuanya pada yang Maha Bijaksana. Insya Allah kalau kita memang benar-benar ikhlas Allah akan menunjukkan jalan terbaik pada kita.”
Aku menghela napas pendek mendengar penjelasan Raihan. Kami berdua layaknya seorang politikus yang sedang beradu argumentasi. Saling melontarkan pertanyaan yang harus dijawab oleh lawan bicara.
“Mir, kok kita seperti politikus ya, yang suka beradu argumentasi. Lucu rasanya.”
“Apanya yang lucu ?”
“Topik pembicaraan kita.”
“Biasa saja. Kita kan Cuma mengutarakan pikiran kita. Jadi kita beda dengan politikus itu, kalau mereka mengutarakan argumentasinya karena mereka memang perlu mengutarakannya ke publik. Supaya bisa dijadikan bahan koreksi. Kalau kita, kita mengutarakan argumentasi kita, argumentasi itu kita pakai sendiri dan tidak diumumkan ke publik.”
Raihan sedikit tersenyum. Sepertinya rasa ngantukknya sedikit terobati dengan pembicaraan kita tadi. Angin sepoy masih saja menemani kami. Bintang pun terlihat semakin banyak yang memberikan senyumnya.

############

Sang fajar mulai menampakkan sinarnya. Ayam jantan mulai bersahut-sahutan menunjukkan suara lantangnya. Seruan sholat subuh sudah terdengar merdu. Aku dan Raihan masih saja duduk menghabiskan malam ini. Ditemani bintang yang tak lelah memberikan senyum.
Di dalam sana Husen masih terpulas tidur. Menikmati mimpi-mimpinya yang selalu indah untuk diingat. Dia selalu menceritakan mimpi-mimpinya padaku, meskipun itu sangat tak panatsa diceritakan. Aku hanya diam mendegarkan ceritanya dengan alur yang kurang tertata rapi. Dasar Husen, Anak Manja yang terbiasa hidup enak. Meeskipun begitu, dia sangat perhatian pada teman-temannya. Dia selalu memberikan bantuan pada teman-temannya yang kesulitan. Terutama aku yang sangat sering sekali mendapat bantuannya. Allah itu memang Maha Adil.  Setiap ada kekurangan pasti ada kelebihan.
“Mir, Aku masuk dulu. Siap-siap mau ke masjid.”
Raihan turun dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju kamarnya yang kebetulan berada disamping kamarku. Dia satu kamar dengan Zulfi.
“Iya, aku juga mau siap-siap ke masjid. Terima kasih sudah mau menemaniku malam ini. Mungkin lain kali kita bisa lanjut perbincangan kita.”
Raihan berhenti mendengar ucapanku.
“Iya, sama-sama. Aku juga senang bisa berbagi pengalaman denganmu, saya harap ini tidak hanya kita yang terlibat dalam perbincangan ini, tetapi semua teman-teman kita. Agar mereka mempunyai semangat yang membara seperti Pak Hanafi.”
Aku masih saja duduk,  meskipun Raihan sudah masuk ke dalam kamarnya. Sejenak aku masih menikmati suasana pagi ini. Udara yang sejuk, agakkejantanannya.  Hal ini berbeda dengan Husen, yang masih terlelap tidur, tak mendengar teriakan ayam jantan.
Ku sudahi saja menikmati pagi ini. Aku harus segera siap-siap ke masjid dan membangunkan Husen yang masih tidur pulas. Setiap pagi Husen harus selalu dibangunkan kalau tidak ingin terlambat ke masjid. Husen bangun tidur sendiri tanpa dibangunkan itu bisa dihitung dengan jari.
Ku dekati tempat tidur Husen.“Husen, bangun sudah subuh, ayo ke masjid” ke tepuk-tepuk pundaknya. Dia diam saja. Kuulangi lagi sampai tiga kali. Ini yang terakhir, kalau masih belum bangun aku tinggal ke masjid. “Husen” dengan nada yang agak keras.
“Iya, iya.” Perlahan dia mulai menggerakkan badannya. Mungkin juga merasa kesal dengan suaraku yang tak henti-hentinya membangunkannya. Dengan wajah yang masih lusuh, rambut yang acak-acakan dia bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Aku mengeleng-gelengkan kepala melihat Husen. Sudah hampir dua tahun di asrama tapi masih saja sama dengan di rumah.  
Menunggu sedikit lama, Husen keluar dari kamar mandi. Aku pun masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Aku dan Husen menuju ke masjid. Disusul Zulfi dan Raihan di belakangku. Santri yang lain telah berada di masjid, berjajar rapi pada shaf yang telah tersedia. Ini sudah menjadi rutinitas kita, kita selalu melakukan solat jamaah di masjid. Tak ada santri yang solat sendiri di kamar kecuali yang sakit. Mungkin ini juga menjadi rutinitas di  asrama putri.

#########

Sore ini, aku berencana mengumpulkan panitia kegiatan Bakti sosial. Aku sudah memberi tahu teman-teman yang lain. Begitu juga Pak hanafi sebagai pembimbing kegiatan. Aku menunggu teman-teman di serambi masjid, tempat koordinasi yang pertama. Teman-teman putra sudah mulai berdatangan, tinggal teman-teman putri belum terlihat. Mungkin masih dalam perjalanan. Mereka yang sudah datang duduk ditempat yang telah kita sediakan. Sambil menunggu teman-teman putri mereka bersenda gurau, maklum nama saja anak-anak muda, masih suka bersenda gurau dengan teman, meskipun setiap hari bertemu bahkan setiap detik bersama. Tapi ada saja yang diperbincangkan hingga memunculkan tawa.
Teman-teman putri sudah terlihat masuk ke lingkungan asrama putra. Nampaknya seluruh anak putri bisa menghadiri koordinasi ke dua ini. Anak-anak putra mulai terdiam milhat anak-anak putri sudah mendekati masjid. Mungkin mereka memasang muka sopan dan ramah agar ada salah satu dari mereka yang tertarik dengan anak putra.
Sekarang seluruh panitia sudah berkumpul. Aku mulai memulai koordinasi ini. Dalam koordinasi ini, kita tidak membahas mengenai kegiatan bakti sosial. Melainkan membahas membahas mengenai persiapan Tahun baru Islam, yang diadakan Pawai Ta’aruf. Karena ini merupakan agenda terdekat, jadi kita fokuskan terlebih dahulu pada kegiatan Pawai Ta’aruf nanti. Untuk persiapannya nanti akan kita mulai besok pagi. Karena waktunya tinggal satu minggu. Aku meminta teman-teman untuk mempersiapkan perlengkapannya. Agar kegiatan ini dapat berjalan lancar dan persiapan kegiatan bakti sosial tidak terbengkalai. Aku membentuk dua tim, yang satu tim fokus di Pawai ta’aruf dan tim yang satunya fokus di persiapan kegiatan bakti sosial. Alhamdulilah koordinasi ini berjalan lancar. Seluruh panitia sudah memahami tugasnya masing-masing.
Rapat koordinasi sudah selesai. Santri putri mulai meninggalkan masjid dan santri putra sebagian juga kembali ke kamar mereka. Sebagian lagi masih melanjutkan perbincangannya tadi yang tertunda.aku juga masih tinggal di masjid. Kali ini ku duduk bersama Pak Hanafi, Raihan dan Husen. Kami berempat duduk berhadapan membentuk lingkaran kecil.
Raihan nampaknya akan memulai pembicaraan ini.
“Amir, gimana rasanya semalaman tidak tidur ?”
Husen terlihat kaget mendengar pertanyaan Raihan. Dia tidak tahu kalau aku tidak tidur tadi malam. Dia menatapkan seakan kurang percaya, dan mencoba mencari kebenarannya.
“Alhamdulillah, sampai saat ini aku belum merasakan apa-apa.” Aku tersenyum kepadanya.
“Lo, kenapa tidak tidur ?” Pak Hanafi menanyakannya kepadaku.
“Tidak bisa tidur pak, dan kebetulan malam itu langit tampak indah dipandang. Ya sudah aku putuskan untuk tidak melewatkannya. Malam itu aku tidak sendiri, aku ditemani Raihan hingga fajar.”Pak Hanafi mengangguk kepala diikuti Husen.
“Amir, kamu itu aneh. Dulu kamu gak bisa tidur karena teringat keluarga di rumah, terus merasa ada yang memanggil dan menasehati, sekarang alasannya karena malam itu indah.” Kali ini Husen angkat bicara, karena merasa kurang mengerti apa yang aku lakukan. Memang selama ini, Husen lah yang mengetahui apa yang aku alami di malam-malamku akhir-akhir ini.
“Memangnya ada Mir, kalau ada masalah cerita saja sama Bapak. Insya Allah bapak akan bantu.”
“Iya   Mir, kalau kamu memang ada maslah, cerita saja sama kita. Kita akan mencoba membantu.” Raihan menambahkan.
Aku hanya diam tak menjawab. Bukannya kau tidak mau bercerita kepada mereka. Tapi kembali lagi, apa akan aku ceritakan kepada mereka. Aku saja masih bingung dengan perasaanku ini. Seperti seorang pemuda yang sedang jatuh cinta.
Jatuh cinta ! kali ini aku teringat dengan gadis kecilku, yang sampai sekarang tak pernah bertemu. Dia gadis kecil yang manis, imut dan menggemaskan. Mungkin sekarang dia sudah sepertiku. Sudah duduk di bangku SMA. Seperti apa dia sekarang ? Pikiranku membayangkannya. Berharap akan bertemu lagi dengan gadis kecilku.
“Tidak ada Apa-apa kok ? mungkin karena aku merasa kabgen dengan keluarga di rumah, jadi terbawa perasaan saja.”
Suasana masjid masih ceria. Karena santri yang tinggal di masjid belum mengakhiri guruannya. Hanya beberapa santri saja, tapi terdenganr seperti ada banyak sekali santri. Memang ini menjadi kebiasaan santri putra. Sambil menunggu adzan maghrib mereka bersenda gurau di serambi masjid.
“Jangan lupa persiapan Pawai Ta’arufnya ? Apa saja yang akan dipakai dan dibawa ?” Pak Hanafi mengingatkan kita pada kegiatan pertama kita. Kami hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan pak Hanafi.
“Menurut bapak, sebagaiknya kita memakai konsep seperti apa ?” tanyaku.
“Kalau itu, terserah kalian saja, bagaimana enaknya. Yang penting menarik, kreatif, inovatif dan tidak melanggar norma. Kalian tahu kan, maksud bapak.”
“Bapak hanya berpesan, kalian semua harus jaga sikap. Tunjukkan kalau sekolah itu memang benar-benar sekolah unggulan yang bisa dipertanggungjawabkan.”

#######
Pagi ini langit nampak cerah. Semoga secerah harapan kami semua. Meskipun sedang menghadapi ujian semester, tetapi kami tetap bekerja mempersiapkan kegiatan yang akan kami laksanakan. Ujian tak membuat langkah kami terhambat. Kata Pak Hanafi kita harus bisa selalu membagi waktu, karena waktu tidak akan kembali dan terulang lagi. Kita harus bisa menggunakan waktu sebaik mungkin. Jangan sampai kita menyesal karena menyia-nyiakan waktu.
Para santri mulai sibuk dengan  pekerjaannya mempersiapkan kegiatan Pawai Ta’aruf. Mereka mulai memikirkan konsep yang akan digunakan. Hasan mengusulkan konsep religi. Raihan mengusulkan konsep nasionalisme. Dan kita sepakat  akan mengunakan konsep yang diusulkan Raihan. Itu sangat bangus sekali. Karena melihat fenomena sekarang. Banyak sekali remaja Indonesia yang tidak mengerti akan nasionalisme dan seberapa pentingnya nasionalisme itu. Dengan konsep ini, diharapkan para peserta mulai menyadari akan pentingnya nasionalisme itu untuk kemajuan bangsa.
Sepulang sekolah kita akan berkumpul di masjid sekolah untuk membahas kelangjutan kegiatan ini. Memang setiap pertemua/musyawarah kami biasakan di masjid. Karena di masjid kita bisa menjaga sikap dan bicara kita. Selain itu, kita juga bisa merasa tenang di rumah Allah ini. Siswa yang akan naik emosi akan cepat sadar dan meredam emosinya. Maklum, namanya saja anak muda, masih belum bisa mengontrol emosinya. Serambi masjid sekolah memang cukup besar. Sehingga sering kali dijadikan tempat untuk berbincang-bincang siswa  dan masyarakat sekitar. Karena masjid ini juga digunakan oleh masyakat sekitar   sekolah.
Siang ini matahari terasa terik. Panasnya seakan menyengat kulit. Keringat pun tak segan-segan mengalir deras. Tak ada satu  pun angin yang menyapa. Mereka enggan beraktifitas karena teriknya matahari. Udara yang dihirup pun terasa hangat. Tak ada kesejukan sedikit pun.
Hal ini berbeda dengan di masjid meskipun diluar sana panas yang menyengat tapi di masjid terasa lebih sejuk. Angin sepoy  menyapa perlahan menghilangkan keringat yang sedari tadi membanjiri tubuhku.
Hatiku terasa tenang berada di rumah Allah. Aku duduk di teras masjid pandimana tempat kami akan berkumpul. Kemudian ku baringkan badanku sedikit melepas penat. Ku pandangi langit-langit masjid yang nampak bersih. Rasanya ingin memejamkan mata terbang melayang menikmati kesejukan ini.
Lima belas menit sudah aku membaringkan badanku. Menikmati kesejukan di rumah Allah. Aku kembali duduk memandangi sekitar masjid. Ku lihat jalan raya disamping masjid. Kendaraan lalu lalang melintas hampir tak ada jeda. “Gimana tidak panas, setiap hari bayak sekali kendaraan yang beroperasi. Sehingga banyak pula polusi yang cipt akan.” Gumamku dalam hati. Seakan ingin protes atas keadaan ini. “Dasar manusia, makhluk yang selalu membawa perubahan. Keadaan seperti ini, itu semua karena ulahmu, ulah yang tidak bertanggung jawab.” Tambahku dalam hati.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Husen, Zulfi dan Raihan sudah datang. Mereka baru selesai mengerjakan soal ujian. Mereka bertiga duduk disamping kanan dan kiriku. Husen dan Zulfi langsung membaringkan tubuhnya di lantai masjid untuk membuah rasa penat karena selama hampir dua jam dipermainkan oleh angka.
“Yang lain mana, belum selesai ?” aku menanyakan teman-teman yang lain. Sudah selesai apa belum.
“Mereka masih di kelas, mungki pusing melihat angka yang berjajar itu.” Jawab Husen yang nampaknya cukup kesal menghadapi soal ujian yang lumayan rumit.
Husen dan Zulfi duduk diam, menikmati kesejukan yang sama denganku. Berbeda dengan Raihan yang masih saja baca buku yang dia bawa dari perpustakaan. Pantas saja dia di panggil si kutu buku. Karena teman-temannya adalah buku. Entah sudah berapa ratus judul yang telah ia baca.Aku senang memiliki teman seperti Raihan, karena dia bisa memperngaruhi teman-temannya untuk giat belajar hanya dengan sikap. Dengan sikapnya yang tekun dan tak mudah ini, banyak sekali teman-teman di sekolah meniru tingkah lakunya.
Husen dan Zulfi dudk diam, mereka menatap jalan raya yang semakin penat. Kemudian mereka mulai membaringkan badannya di lantai masjid. Melepas lelah setelah hampir dua jam mereka bertarung melawan angka-angka  yang memerlukan tenaga ekstra.

#######














SENYUM BIDADARI

Satu hari lagi, kita akan menyambut tahun baru Islam. Pergantian tahun yang dibarengi dengan pergantian budaya, budaya yang semakin maju, sebut saja budaya modern. Budaya yang memberikan kebebasan manusia, dalam bertindak dan berpendapat, serta  penerapan dan pemahaman tentang hak asasi manusia, yang sering kali disalah artikan oleh sebagian  orang.
Hari ini cukup melelahkan. Karena kita harus menyelesaikan seluruh peralatan yang akan dipakai dalam kegiatan ini. Mulai dari spanduk, umbul-umbul hingga aksesoris peserta. Peserta kali ini berjumlah 30orang. 20 permpuan dan 10 laki-laki dan yang menjadi pendamping kegiatan ini adalah Pak Hanafi. Sungguh hari yang melelahkan, selesai ujian semester, kita harus memuutar otak lagi untuk mempersiapkan kegiatan Pawa Ta’aruf, setelah itu kita masih punya satu tanggung  jawab lagi mempersiapkan kegiatan Bakti sosial. Alhamdulillah, Allah selalu memberikan kesehatan dan kelancaran. Baik kelancaran berfikir maupun kelancaran dalam koordinasi perserta dan panitia.
Jarum jam menunjukkan pukul 13.00, persiapan telah selesai. Sekarang tinggal membersihkan sampah-sampah kertas yang masih berserakan disetiap sudut masjid. Teman-teman nampak bahagia karena perseiapannya sudah selesai.
“Akhirnya selesai juga,” kata Husen lega.
“Ternyata satu minggu tidak cukup untuk mempersiapkan kegiatan besok,” Hasan menambahkan dengannada sedikit lessu, karena sejak hari senin kemarin panitia kegiatan jarang berisitrahat.
“Sebenarnya cukup, bahkan lebih dari cukup, karena saja waktu kita terbagi dua yaitu fokus pada ujian dan fokus pada kegiatan ini,” kataku sedikit memberi motivasi.
Melihat lantai masjid sudah bersih, anak laki-laki langsung membaringkan badannya melepas lelah yang mereka tahan selama satu minggu ini. Karena sudag selesai. Anak putri langsung kembali ke asrama bagi yang tinggal di asrama dan langsung pulang untuk siswa yang tidak tinggal diarsama.
“Husen kamu pulang tidak ?” tanyaku pada Husen yang masih berbaring melepas lelah bersama temaHusen-teman yang lain. Sepertinya masih mau menikmati kesejukkan masjid ini, yang bisa sedikit menghilangkan rasa lelah.
“Nanti saja dulu, kita istirahat disini dulu,” pintanya. “di asrama kan juga gak ada kerjaan.”
“Ya sudah kalau begitu, aku tak pulang dulu.”
Tanpa menunggu lama, aku langsung meninggalkan mereka. Aku beranjak dari masjid melangkah sendiri menuju asrama yang tak jauh dari sekolah. Sekitar lima belas menit berjalan.
Dalam perjalananku, aku melihat seorang anak kecil yang menangis. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Dia berdiri bersama kakaknya. Kakaknya yang juga masih kecil hanya diam saja tidak mencoba menenangkannya. Mungkin mereka sebaya dengan adik-adikku. Melihat merka aku jadi teringat pada Ayu dan Putri. Adik-adikku yang manis. Hatiku terenyuh mendengar tangisannya. Aku tak bisa membayangkan jika saja yang menangis itu adik-adikku, betapa hancurnya hatiku mendengarnya.
Ku dekati mereka. “Kenapa dek ?” anak itu hanya diam saja tak menjawab. Kucoba untuk menanyakan kepada kakannya, “Kenapa adiknya ini dek ?”
“Dia minta jajan itu kak, tapi aku tidak punya uang.” jawab nya polos.
“Ayo ikut kakak, nanti kakak belikan jajan itu.” Aku mencoba merayu kedua anak itu. Agar mau ikut denganku membeli jajan yang diinginkan. Tanpa menjawab apapun mereka menuruti ajakanku. Sepertinya kedua anak itu brasal dari keluarga yang kurang mampu. Dilihat dari bajunya yang kusut, kulitnya yang kusam dan kaki tanpa alas kaki. Ini mengingatkan ku masa kecilku dulu yang juga seperti ini.Setelah mendapat jajanan itu mereka mulai tersenyum. Melihat mereka tersenyum lagi hatiku terasa lega mereka kembali bermain dan aku juga kembali ke asrama.

######

Kamarku nampak kotor, banyak sekali kertas berserakan. Sudah seperti sebuah percetakan buku saja. Niatnya kembali ke arsama mau langsung istirahat, tapi terpaksa harus membersihkannya dulu. Pantas saja Husen belum mau diajak pulang, paling dia malas harus membersihkan kamar dulu. Biarlah kukerjakan sendiri. Lagi pula, jika kamar itu bersih aku juga yang merasa nyaman.kupunguti kertas-kertas itu, ku masukkan ke dalam keranjang sampah yang ada di depan kamarku. Di luar, suasana nampak sepi, tak ada satu santri pun yang terlihat. Kemana meraka, apa tidur siang ? Ah biarlah, itu urusan mereka. Sebentar saja kamarku sudah terlihat bersih. Aku sudah merasa nyaman tinggal di dalamnya. Saatnya kau beristirahat.
Mulai kubaringkan badanku di atas ranjang yang sudah menantiku sedari tadi. Ku pandangi langit-langit kamar yang sudah mulai banyak dihuni laba-laba. Bak sebuah perkampungan laba-laba. Memang akhir-akhir ini aku jarang sekali membersihkan langit-langit kamar, “Tak apalah yang aku tidur nyenyak.” Dalam hatiku bertanya, kapan aku bisa tidur nyanyak? Akhir-akhir ini aku sulit tidur, bahkan kadang tidak tidur semalaman.
Kuraih bingkai foto yang ada di meja dekat tempat tidurku. Melihat foto itu, aku teringat masa kecilku dulu yang sering menangis karena minta jajan. Persis dengan anak kecil tadi. Di sebelahku ada gadis manis yang imut. Farida, namanya Farida, teman kecilku yang selalu menemaniku. Aku memmanggilnya dengan sebutan bidadari kecil, yang sinarnya memancar segala penjuru dan memancarkan cahaya kebahagiaan.
“Farida, sekarang kamu dimana?”
Tiba-tiba aku merasa kangen dengannya. Ingin sekali aku bertemu dengannya, memeluknya dan bercanda lagi dengannya. Mugkin sekarang dia sudah menjadi gadis yang cantik dan manis. Bak bidadari dari surga. Aku raba foto itu, foto ini adalah satu-satunya kenanganku dengan Farida. aku masih ingat dengan harapannya waktu itu, kalau dia ingin mendapatkan. Seorang  pangeran dari surga yang mampu menjaganya. Aku tidak tahu apakah dia masih ingat dengan harapan masa kecilnya itu.
“Kok fikiranku jadi ngelantur kemana-mana,” kata hatiku. Biarlah ini menjadi kenangan manisku dengan Farida. Jika kita berjodoh, kita akan dipertemukan lagi oleh Allah sang Maha Cinta.” Ku coba memejamkan mata, membuang segala pikiran yang berjubel dibenakku. Selamat datang mimpi, aku ucapkan untuk hari ini.

######
Matahari telah kembali keperaduannya. Warna kemerah-merahan kini mulai nampak diujung barat. Sungguh indah dan tak terbayangkan. Begitu besar menciptaan Allah. Aku salut pada matahari yang tak pernah lelah menyinari bumi dan alam semesta. Andai saja dia marah dan tidak mau menyinari lagi. Apa jadinya dengan kehidupan ini ? bagaimana dengan nasibku, nasib keluargaku, nasib teman-temanku dan nasib seluruh makhluk yang ada di dunia ini. Makan mereka pasti akan lenyap, tak akan ada lagi kehidupan.
Aku, pemuda 16 tahun yang berdiri tegak, menatap langit lepas, menyambut tahun baru yang akan datang. Selamat datang tahun baru, aku sambut kau dengan semangat baru, mimpi-mimpi baru dan pribadi yang baru, pribadi yang lebih baik.
Aku berdiri di depan kamarku, menatap langit yang mulai gelap. Bulan pun mulai terlihat tersenyum kecil padaku. Bintang-bintang juga mulai menampakkan batang hitungnya. Mereka juga terlihat bahagia menyambut tahun baru. “Malam ini akan terasa terasa lebih indah jika ditemani orang-orang yang kucintai,” kata hatiku yang mulai teringat lagi dengan keluargaku. “Farida andai saja kau juga ada disini, rasanya aku ingin mencurahkan kerinduanku padamu dan bercerita tentang masa kecil kita yang indah.” Lanjutku.
“Alhamdulilah, hari ini aku masih bisa menikmati kebahagiaan ini. Aku bertekad, di tahun yang baru aku harus bisa menjadi pribadi yang baru, semangat baru dan yang terpenting lagi bisa menjadi lebih baik dari hari ini. Karena aku tidak ingin digolongkan dalam kelompok orang-orang yang merugi.”
“Husen, lihatlah langit hari ini,” kataku pada husen yang baru keluar dari kamar. Dia berdiri disampingku, menatap langit yang cerah.
“Kenapa langitnya ?”
“Menurutmu ada yang beda tidak ?”
“Aku lihat ada mendung sedikit.” Jawabnya ringan.
“Lihat cahaya yang ada disana, berbeda dengan malam sebelumnya.”
“O itu, iya aku lihat, mungkin itu sisa-sisa cahaya matahari yang masih tertinggal.”
Aku menghela napas sebentar, kurang puas dengan jawaban husen, dia kurang bisa meniikmati keadaan. Berbeda dengan Raihan, dia pandai menguraikan keadaan. Bak seperti seorang pujangga besar. Sungguh indah.
Kami berdua masih berdiri. Memandangi langit. Kali ini bintang sudah terlihat terang.sudah Karena langit mulai gelap dan sepertinya sebentar lagi akan maghrib.


BERSAMBUNG .........

1 komentar:

  1. asemmmmmmmm keren banget ig darrrrrr keren keren kerennn ndang dilanjutke ya darrr

    BalasHapus

Selamat datang di blog RUMAH BACA, Terima kasih telah berkunjung di blog kami.. Semoga anda senang!!