blogku, motivasiku, untuk selalu belajar dan belajar... berusaha menjadi manusia selalu bermanfaat bagi orang lain
Selasa, 28 Februari 2012
UNTUK KITA
Kadang kita berpikir... akan jadi apa kita nanti. apakah kita bisa bisa menjadi apa yang kita inginkan. hanya petanyaan itu-iu saja yang selalu muncul dibenak kita. lebih-lebih jika usia kita sudah beranjak dewasa, katakan saja ketika kita akan lulus dari SMA atau perguruan tinggi. pertanyaan itu akan muncul seiring dengan keadaan kita saat itu. kita akan merasa bingung dengan perjalanan hidup kita sendiri. rasa minder dan kurang percaya diri akan hinggap di pikiran kita, hingga kita tak punya lagi semangat untuk melanjutkan hidup ini.
Perasaan itu muncul karena kita kurang percaya diri akan kemampuan kita sendiri. kita tidak tau apa bakat kita sesungguhnya. kita tidak tau apa yang akan kita lakukan setelah lulus dari sekolah atau kuliah.
Bukannya ingin menasehati aku sok pinter, tapi ini adalah kenyataan yang akan dialami oleh setiap orang, meskipun mereka adalah anak seorang pejabat ataupun presiden. setiap orang pasti mempunyai cita-cita yang ingin diraihnya. dengan segala macam cara mereka berusaha untuk meraihnya.
Sebuah keinginan ataupun cita-cita itu akan muncul dari dalam hati kita yang paling dalam ketika mengalami suatu suatu hal yang sangat berkesan hingga menyentuh hati. ini bukan opini yang direkayasa, tapi aku sendiri juga mengalaminya.
Disini aku kana berbagi cerita ....
Cita-citaku muncul ketika aku masih duduk di bangku SMP tepatnya di kelas 1, saat itu ketika pelajaran Bahasa Indonesia. dalam pelajaran itu terdapat sebuah puisi tentang perjuangan seorang guru yang begitu mulia. hatiku tersentuh membaca puisi itu. dari situ aku mulai bertekad ingin menjadi seorang guru yang selalu menebarkan ilmu dimana saja.
Menjadi guru itu bukanlah hal mudah, karena selain kita harus rajin belajar, kita juga harus bisa mempengaruhi seseorang supaya bisa menerima keberadaan kita dan mengakui kita. guru tak hanya berada di sekolha, tetapi, guru itu juga berada di rumah dan di lingkungan masyarakat. guru adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa. yang bekerja tanpa pamrih dan tak mengenal waktu dan usia.
Seseorang dikatan sebagai guru bukan hanya mereka yang memiliki gelar sarjana pendidikan saja, tapi mereka yang tak punya gelar, atau bahkan mereka yang tak pernah mengenal bangku sekolah juga bisa dikatakann sebagai seorang guru. mereka adalah guru alami yang muncul dari perjalanan hidup ini, guru yang selalu memberikan kita ilmu yang sangat berharga, ilmu pengalaman yang mulia yang bisa menuntun dan membimbing kita dalam menjalani perjalanan hidup kita.
Senin, 20 Februari 2012
MALAMKU
Sepertinya malam ini, langit mengerti apa yang kurasakan,rasa gundah dan gelisah yang selalu mengahantuiku, meskipun anjing mengogong dengan suara yang mengelegar, air sungai yang tak pernah diam. tak bisa mengubah perasaan hatiku.hatiku selau gelisah, bimbang dan masih banyak lagi.
"huh" keluhku sambil berjalan ke teras rumah.
aku duduk di tangga depan rumah, memandangi langit yang semakin gelap tanpa satu pun bintang yang menemaninya.
"kenapa malam ini seperti ini ya ?" tambahku lagi.
kulihat hp yang kugenggam. tak ada satu pun pesan yang mampir di hp ku ini. "sepi sekali," gumamku lagi.
aku masih saja memandangi langit itu yang tak mungkin lagi berubah menjadi terang.
"Ya Allah, enaknya ngapain nih ?" kataku lagi.
aku duduk disini seperti orang gila saja, ngomong sendiri, bertanya dan dijawab sendiri. Apakah malam ini malam yang amat buruk nagiku. tak ada teman yang menemani, tak ada teman yang bisa diajak ngobrol. andai saja Burhan gak keluar, pasti aku ada teman ngobrol, gak bengong sendiri.
langit hitam, angin pun enggan menyapa, yang terdengar hanyalah suara televisi yang aku nyalakan tadi. sungguh malam yang tak bersahabat.
karena duduk sendiri, aku jadi teringat ibuku di rumah, dia sedang apa ? bagaimana kabarnya ? apakah dia juga sedang memikirkanku malam ini ? yang jelas malam ini aku memikirkannya.
jam di hp ku menunjukkan pukul 11 malam, namun Burhan dan Rudi belum juga pulang. memamngnya mereka mau pulang jam berapa ?
FARIDA
HATIKU GELISAH
Malam ini nampak berbeda dengan
malam-malam sebelumnya. Suara binatang malam riuh rendah mendendangkan
nyanyian alam. Saling bersautan memecahkan keheningan malam. Sisa rintik-rintik hujan pun tak mau ketinggalan. Malam
ini bukanlah kali pertama mataku tak bisa terpejam. Seakan terasa terganjal
ranting pohon yang menghalangi menutup mata. Langit-langit kamar pun seakan
memandangiku, penasaran melihat tingkahku. Di atas tempat
tidur, aku hanya bolak-balik badan.
“Ya
Allah, sebenarnya apa yang sedang kupikirkan, mataku sulit terpejam, hati pun
terasa tak tenang,” gumamku
dalah hati.
“Aku tak bisa membohongi perasaanku, semakin
kupikirkan perasaanku semakin sakit, bagaikan diiris-iris pisau tumpul yang tak
henti.”
“Jangan
biarkan aku terbawa oleh perasaan ini, perasaan yang tak jelas yang membuat
hati gundah,” tambahku.
“Kau
kenapa, Mir ?” Tanya Husen. Teman sekamarku di asrama. Husen mencoba
mendekatiku untuk menenangkan hatiku. “Kalau kamu punya masalah cerita saja,
aku siap mendengarkannya, mungkin itu bisa sedikitmengurangi kegelisahanmu.”
Aku
diam saja, aku masih larut
dengan perasaanku yang masih belum jelas. Husen juga ikut diam, ikut berbaring
disampingku semabri memandangi langit-langit kamar yang tak begitu tinggi.
Sesekali Husen menoleh ke arahku tak tega melihat yang nampak gelisah.
“Mir,
ceritalah padaku,” pinta Husen
lagi yang semakin bingung melihatku.
“Kita kan sudah kenal lama, jadi sudah seharusnya kita
saling bantu, jika satu ada masalah maka yang satu juga akan membantu
menyelesaikannya. Sama dengan kamu, kalau kamu ada masalah, maka aku akan bantu
kamu semampuku.”
Husen
masih saja berusaha membujukku
supaya aku mau bercerita tentang masalahku. Tapi aku masih tak menghiraukannya.
“Ya
sudahlah kalau kamu tidak mau cerita, aku tidak memaksa.” Husen mulai kesal dengan sikapku. Dia
memandangi langit-langit kamar lagi untuk mencoba menghilangkan rasa kesalnya.
“Sen,
bukannya aku gak mau menerima bantuanmu. Aku saja masih bingung dengan
perasaanku sendiri. Beberapa hari ini, aku selalu gelisah. Perasaanku tidak tenang,” kataku menjelaskan.
Husen
mulai mendengarkan ceritaku dan membuang rasa kesalnya. Dia sangat
memperhatikan kata demi kata ucapanku dan mencoba mencernanya agar mendapat
solusi yang bisa membantuku.
“Akhir-akhir ini Aku selalu teringat keluarga di
rumah, sepertinya ayahku selalu memanggilku memimta aku untuk pulang sebentar.
Aku bingung, apakah aku harus pulang atau tidak ?”
Husen
mulai mengerti satu permasalahan yang aku hadapi. Dia tak langsung bicara, tapi
masih menunggu ceritaku berikutnya.
Sejenak kami terdiam, memandangi
langit-langit kamar yang tak begitu tinggi. Di kamar yang tak begitu besar ini,
kami menghabiskan waktu setelah disibukkan dengan bermacam-macam mata pelajaran
yang begitu padat dan memeras otak. Dan sesekali saling memandangi dan memberi
senyum untuk memecahkan keheningan malam dan mencoba menghibur Amir. Kamar ini
pula yang menjadi saksi aktifitasku selama satu setengah tahun bersama Husen di
asrama. Kami saling bercanda, berdiskusi dan tak ketinggalan bertengkar. Husen
menatapku sembari tersenyum.
“Kenapa Sen”,
Tanyaku penasaran.
“Gak, lucu aja ngeliat kamu, bingung beberapa
hari cuma karena kangen
keluarga di rumah,” Husen masih tersenyum, melihat raut
mukaku yang mulai memerah.
“Sudahlah Mir,
jangan terlalu dipikirkan. Kalau kamu memang kangen dengan keluargamu, kamu
bisa telpon mereka. Kalau gak ada uang, pakai uangku dulu gak apa-apa.” Husen mencoba menawarkan bantuan
lagi padaku.
“Mir, pakailah saja dulu uangku. Gak usah sungkan.
Aku iklas kok,” Husen masih mencoba manawarkan bantuan, tapi aku diam saja. Aku
masih penasaran dengan perasaanku.
Ku pandangi dinding kamar yang warnanya mulai kusam, dengan harapan mendapat
satu jawaban. Ku pandangi jendela kayu yang berkuping dua. Hasilnya pun sama.
Mereka diam saja tak meresponku. Malam semakin larut. Binatang malam masih saja
berdendang, tak lelah menemaniku melalui malam yang cukup melelahkan. Husen
masih saja diam menunggu jawabanku atas tawarannya. Dia tak memaksaku untuk
menerima bantuannya. Karena jika aku memang benar-benar butuh aku akan
meminjamnya. Husen memang selalu membantuku ketika aku kesulitan.
“Sudah larut malam, aku mau tidur dulu ?” katanya
sembari bangkit dari tempat tidurku dan berpindah ke tempat tidurnya yang
kebetulan bersebelahan. Karena ukuran kamar yang tak begitu luas. Tempat
tidurku dan tempat tidur Husen berdekatan hanya dibatasi oleh meja belajar yang
juga tak begitu besar.
“Mir, nanti kalau jadi pinjam uang, bilang aja.
Gak usah malu,” tambahnya mengingatkanku. Husen langsung berbaring di tempat
tidurnya, tak kuat lagi menahan kantuknya.
“Iya” Jawabku singkat.
Tak lama Husen sudah terlelap, mungkin kelelahan
karena tadi pagi kami mengadakan bakti sosial di lingkungan sekolah. Dalam
rangka menyambut tahun baru hijriyah.
Jarum jam menunjukkan pukul 00.00. Namun aku masih
saja tak bisa memejamkan mata. Binatang malam semakin asyik berdendang, saling
saut-sautan memecahkan keheningan malam. “Ya Allah, berikanlah hamba ketenangan
hati, jangan biarkan hamba larut dalam perasaan gelisah yang tak jelas.” Aku teringat firman Allah
“Allah, yang
menciptakan kalian dari keadaan lemah, kemudian menjadikan sesudah kelemahan
itu kekuatan, lalu menjadikan sesudah kuat itu lemah kembali dan berubah ...”(Ar
Rum 54)
Allah menciptakan kita dari keadaan lemah, dan
sesudah kelemahan itu akan kuat. Aku percaya Allah akan memberiku kekuatan yang
luar biasa setelah kelemahan ini berakhir.
Tak bosan kupandangi langit-langit kamar yang
setia menemani kegelisahanku selama ini. Sesekali ku pandangi Husen yang
semakin terlelap dalam tidurnya. Rasanya aku iri dengan Husen yang bisa
menikmati malamnya dengan tenang. Husen nampak tenang dan menikmati mimpinya
yang mungkin saja indah.
Sepintas aku teringat pesan Pak Hanafi, pengasuh
asrama putra yang disadur dari hadits nabi yang indah dan mudah dicerna.
“Mintalah
fatwa pada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tentram jiwa padanya, dan
tentram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan
ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka
membenarkannya” (HR. Muslim)
Pak Hanafi selalu memberikan pesan-pesan yang
bijaksana kepada seluruh siswa di asrama. Jadi tidak heran kalau Pak Hanafi itu
melekat dalam hati dan ingatan seluruh siswa. Mengingat pesan Pak Hanafi ini
hatiku terasa lebih tenang.
Terima kasih ya Allah engkau telah mengirimkan Pak
Hanafi dan teman yang baik pada hamba. Hamba akan selalu ingat akan firman-firmanMu
yang bisa menyejukkan hati.
Perlahan hatiku mulai tenang. Aku mencoba
memejamkan mata yang sedari tadi tak terpejam sedikit pun. Aku berharap kali
ini aku bisa menikmati malamku dan merajut mimpi indah yang diiringi lantunan
binatang malam yang semakin malam semakin indah didengar. Oh, bahagianya hatiku
jika itu terjadi. Sejenak aku terlelap. Mataku terpejam, hatiku tenang.
“Amir ...”
“Amir ...”
“Amir ...”
Suara itu perlahan memanggilku, suara yang lembut.
Begitu jelas memanggil namaku, suara yang sepertinya tidak asing lagi. Aku
terbangun dan mencoba mencari sumber suara itu. Aku melihat ke arah Husen. Dia
masih saja terlelap, sepertinya dia tak mendengar suara misterius itu. Ku
perhatikan sekitar ku, sudut-sudut kamar, mataku tertuju pada bingkai foto yang
ku taruh di meja belajar. Aku mendekati bingkai itu, kuperhatikan gambarnya.
“Siapakah suara itu ?”. gumamku penasaran sembari memandangi foto masa kecilku.
Aku mencoba tak menghiraukan lagi suara itu, ku
letakkan kembali bingkai foto itu ditempatnya semula. Ku pejamkan perlahan
untuk melanjutkan tidurku yang sempat tertunda.
“Amir, tenangkanlah dirimu. Jangan hiraukan
perasaanmu.” Suara itu terdengar lagi. Bahkan semakin jelas dan dekat
terdengar. Muncul kembali pertanyaan-pertanyaan yang mulai lenyap. Siapakah
dia, dan kenapa dia memanggilku. Mungkin ini Cuma halu sinasi saja, yang terbawa oleh perasaanku yang tak jelas.
#####
“Amir, bangun sudah
subuh,” Husen perlahan membangunkanku. Dia menepuk-nepuk bahuku. “Amir ...
Amir,” Katanya lagi.
Karena lelapnya tidurku,
aku tak mendengar suara Husen dan merasakan tepukannya. Karena tak ada respon
dia membiarkanku meneruskan mimpi-mimpiku yang sempat terganggu. Husen
meninggalkanku sendiri. Dia pergi ke masjid yang berada di lingkungan asrama. Dia
keluar tanpa memperhatikanku. Dengan pakaian gamis putih dan sarung hijau, dia
melenggang ke masjid. Para santri yang lain pun juga sudah berkumpul di masjid.
Tinggal aku saja yang masih terlelap tidur.
Tak lama aku mulai
terbangun, ku lihat jam di meja belajar. Jarumnya menunjukkan pukul 04.25. “Astaghfirullah”,
aku terhentak seperti kebakaran jenggot. Ku ambil handuk dan berlari ke kamar mandi untuk cuci muka
dan berwudlu. Ku ambil baju gamisku yang masih tergantung di samping almari.
Tanpa menuggu lama aku berlari sambil memakai sarung ke masjid.
Nafasku terengah-engah,
denyut nadiku berdenyut kencang. Di depan masjid, kupandangi teman-temanku yang
sudah duduk rapi berjajar mengikuti shof yang telah dibuat. “Alhamdilillah belum
terlambat”, gumamku sedikit lega. Nafasku masih sedikit terengah-engah, kucari
shof yang masih kosong.
Tak lama kemudian, Hasan
mulai iqomat. Seluruh jamaah berdiri
bersiap-siap meluruskan shof. “Allahu Akbar,” Pak Hanafi mulai takbirotul
ikhrom. Seluruh jamaah mengikuti gerakan Pak Hanafi hinggan salam. Setelah
solat kami berdoa masing-masing. Sambil menunggu kuliah subuh dimulai. Hari ini
yang mengisi kuliah subuh ialah Kak Rabbi, kakak kelas ku yang juga tinggal
diasrama. Dia termasuk salah satu santri yang berani, meskipun tidak terlalu
pandai, tapi selalu aktif dalam kegiatan baik yang diadakan disekolah maupun di
asrama. Aku bangga punya teman seperti dia. Dengan postur tubuh yang tidak
terlalu tinggi, kulit sawo matang dan rambut sedikit bergelombang. Dia selalu
percaya diri.
Berbeda dengan Husen, pemuda
bertubuh tinggi, kulit putih dan rambut hitam lurus, yang membuat para gadis
terpesona jika melihatnya. Selalu kurang percaya diri dengan penampilannya. Aku
sering dibuatnya bingung dan kesal, hanya karena bingung memilih baju yang akan
dipakai ke hajatan teman. Hampir satu jam dia berdiri di depan kaca,
membolak-balikkan badan, seperti model yang berlenggak-lenggok di atas catwalk.
Kak Rabbi mulai mengambil
posisi, dia duduk disamping Pak Hanafi dengan meja kecil yang telah
dipersiapkan untuk meletakkan materi kuliah yang akan disampaikan. Dalam materi
kuliah yang disampaikan, banyak sekali pesan yang ditujukan kepada kita semua
sebagai generasi islam. Generasi muda yang harus bisa menjadi panji-panji
perubahan yang menjadikan agama islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamin
Kawan-kawanku
semua yang di rahmati Allah,
Perlu kita ingat, bahwa kita semua adalah
generasi islam, generasi yang sangat diharapkan mampu membawa perubahan yang
lebih baik, dan kita harus yakin. Bahwa Allah itu selalu bersama kita. Allah
melindungi kita.
Sebagai seorang pemuda muslim, kita harus
selalu dapat bermanfaat bagi orang lain, jangan sampai kita memanfaat orang
orang lain lebih-lebih kita sendiri yang dimanfaat orang lain.
Dalam berita televisi juga disebutkan,
bahwa teroris itu selalu mencari korban dari kalangan pemuda, yang mereka
anggap masih memiliki pemikiran yang labil, mudah dipengaruhi. Selain itu kita
juga mengenal istilah negara islam indonesia yang juga mencari mangsa dari
kalangan pemuda.
Sahabat
muda yang saya banggakan,
Sebagai pemuda muslim, kita harus selalu
meneladani sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW, yang selalu mengajarkan
kebaikan-kebaikan kepada para sahabat dekatnya dan seluruh umat manusia. Selain
Nabi Muhammad, kita juga mengenal tujuh pemuda Askahbul Kahfi yang memegang
teguh agama Allah.
Agama adalah amanah yang harus dijaga,
dipupuk dan dipelihara dengan sebaik-sebaiknya.
Sahabatku
yang berbahagia,
Ini yang terpenting yang menjadi cacatan
kita, yakni firman allah dalam Surat Yusuf ayat 55
“Dan
aku tidak terlepas diri dari (kesalahan) nafsuku. Karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali yang diberi rahmat oleh Rabbku.
Sesungguhnya Rabbku, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Allah selalu mengingatkan kita untuk tidak
selalu menuruti hawa nafsu, karena nafsu itu bisa menuntun kita untuk berbuat
keburukan. Lebih-lebih kita semua yang masih muda, yang belum bisa menahan hawa
nafsu. Yang masih menyukai kesenagan-kesenagan dunia.
Itulah kuliah subuh yang
disampaiakan kak Rabbi pagi ini. Sederhana memang, tapi penuh dengan pesan yang
ditujukan kepada kita semua sebagai pemuda muslim, generasi umat. Di asrama
putra ini, Rabbi termasuk santri yang disegani, karena kepiawaiannya
menyampaikan tausiyah, bahkan dia sering diminta oleh pimpinan asrama untuk
mengisi khutbah Jum’at di masjid jika Pak Hanafi berhalangan hadir.
Subhanaallah, Allah benar-benar Maha Adil,
Rabbi yang punya tampang pas-pasan diberi kelebihan pandai berpidato dan berbicara.
Memang Maha Adil yang tidak ada yang menyamainya. Setelah kuliah subuh selesai,
para santri kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap mengikuti
olahraga pagi dan bersih lingkungan.
*******
Para santri masih sibuk membersihkan lingkungan
asrama. Aku dan Husen membersihkan sekitar kamar kami. Santri lain membersihkan
lingkungan di luar asrama. Bersih lingkungan ini kami lakukan setiap pagi
setelah olahraga pagi. Tujuaanya agar asrama tetap terlihat bersih meskipun ini
adalah asrama putra. Pengasuh asrama tak mau melihat asrama binaannya kotor
seperti asrama-asrama putra pada umumnya, yang terlihat kumuh tak terawat.
“Gimana Mir, tidurnya semalam ?”
Husen mulai mananyakan tidur tadi malam, yang
menurutnya aku tidur nyenyak. Memang benar kata Husen, tidurku sangat nyenyak semalam.
Tapi dia tidak tahu, jam berapa aku bisa memejamkan mata.
“Alhamdulillah,” jawabku ringan.
Husen berhenti menyapu lantai. Dia mendekatiku
memastikan jawabanku tadi.
“Alhamdulillah, gimana maksudnya ?” tanyanya lagi
penasaran.
“Alhamdulilah aja,” jawabku.
Aku tak begitu memperhatikan pertanyaan Husen. Aku
melanjutkan pekerjaanku menyapu lantai asrama yang belum selesai. Mendengar
jawabanku, Husen diam saja tak menyakannya lagi. Mungkin sudah puas dengan
jawabanku. Kami saling diam tak bicara satu sama lain. Sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Aku menyapu lantai asrama dari lantai bagian depan hingga bagian
belakang dan dibantu oleh Raihan dan Azam. Husen dibantu oleh Yusuf, Marwah,
Rino dan Zulfi menyapu bagian dalam asrama, mulai dari koridor asrama,
kamar-kamar asrama dan serambi asrama. Sedangkan teman-teman yang lain
membersihkan lingkungan sekitar asrama seperti jalan masuk asrama, jalan yang
menghubungkan asrama dengan rumah-rumah penduduk. Asrama putra tidak begitu
besar. Aku Hanya dihuni oleh 20 orang santri. Sedangkan asrama putri berukuran
lebih besar. Yang dapat menampung 30 santri. Asrama putri letaknya tidak
terlalu jauh dengan asrama putra, mungkin sekitar 100 meter.
Dari depan, nampak Roni berlari mendekatiku. Ku
lihat dia masih berlari mendekatiku. “Amir ...” teriaknya. Aku menoleh ke
arahnya dan menunggu dia mendekat. “Kamu dipanggil Pak Hanafi,” katanya dengan
nafas agak terengah-engah.
“Memangnya ada apa ?” tanyaku sedikit penasaran.
“Aku kurang tahu.”
Tanpa menjelaskan apapun Roni kembali ke tempatnya
semula. Husen masih sibuk dengan pekerjaannya. Ku letakkan sapu yang masih ku
pegang. Aku mendekati Azam.
“Zam ...,
aku ke ruangan Pak Hanafi sebentar.”
Azam hanya membalas senyum, dan kembali menyapu lagi.
Tanpa berpikir panjang. Aku langsung menuju ruangan
Pak Hanafi. Ruangan Pak Hanafi berada di ruangan paling depan asrama atau
berada di pintu masuk asrama. Dengan cat warna biru muda, asrama putra nampak
begitu rapi. Ku ketuk pintu ruangan Pak Hanafi. Daun pintu yang warnanya mulai
kusam, mungkin karena sudah dimakan usia perlu segera direnovasi.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam,” Pak Hanafi menjawab salamku
dari dalam ruangan.
“Masuklah Mir.”
Aku masuk perlahan. Di ruangan itu Pak Hanafi
masih sibuk merapikan meja kerjanya. Aku mendekati beliau. Dia masih saja
sibuk.
“Duduklah Mir,” katanya sembari merapikan tumpukan
kertas yang tidak terpakai dimejanya. Aku langsung duduk di tempat yang sudah
disediakan. Aku diam saja melihat Pak Hanafi yang masih bersih-bersih. Sambil
menunggu Pak Hanafi selesai merapikan mejanya. Aku sempatkan memperhatikan
ruangan Pak Hanafi, gambar demi gambar yang terpajang di dinding ku perhatikan.
Banyak sekali gambar yang di pasang di dinding ruangan beliau. Gambar-gambar
itu tersusun rapi. Di tata menurut ukuran bingkai. Di sisi lain, aku juga
menemukan sebuah papan tulis yang dipasang tepat di depan tempat duduk Pak
Hanafi, setiap Pak Hanafi duduk meja kerjanya. Tulisan di papan tulis itu
terlihat jelas. Melihat tulisan dalam papan tulis itu, aku bisa menyimpulkan.
Tulisan itu dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan setiap aktifitasnya.
Papan tulis itu bertuliskan
“Jadikanlah hidupmu bermanfaat bagi orang
lain, dan jangan biarkan waktumu
terbuang sia-sia. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan besok harus
lebih baik dari hari ini.”
Tulisan itu sangat sangat indah dan bagus untuk
dijadikan motivasi bagi kita semua. Di samping kanan papan tulis terdapat
gambar KH. Ahmad Dahlan dan disamping kiri terdapat gambar Buya Hamka. Mengenai
gambar dua pahlawan nasional ini, aku belum bisa menafsirkan tujuan Pak Hanafi. Tapi dalam pikiranku mulai muncul
sedikit pertanyaan mengenai dua gambar pahlawan tersebut diletakkan di samping
papan tulis. Pak Hanafi sudah hampir selesai merapikan mejanya. Aku kembali
fukos pada gambar tadi. Mungkin karena besarnya jasa beliau, sehingga Pak
Hanafi menganggap, beliau berdua ini pantas juga dijadikan sebagai motivasi
dalam memperjuangkan Islam. Tentunya selain Nabi Muhammad SAW. Karena Nabi
Muhammad sudah tentu dan wajib kita jadikan motivator kita dalam memperjuangkan
Islam.
Pak Hanafi telah selesai merapikan mejanya. Beliau
mulai duduk tepat di depanku.
“Mir ...,” Pak Hanafi mulai berbicara.
“Sebenarnya bapak memanggilmu, karena ada beberapa
hal yang ingin bapak bicarakan. Pada Ahad bulan depan Asrama kita akan
mengadakan kegiatan bakti sosial di daerah terpencil. Bakti sosial ini akan
dilaksanakan selama tujuh hari. Dan bapak memilihmu sebagai koordiantor
kegiatan ini. Karena bapak pikir kamu lebih berpengalaman dibanding
teman-temanmu. Kegiatan ini akan diikuti oleh tingkat I dan tingkat II, untuk
Santri tingkat III, akan kita fokuskan pada persiapan ujian akhir nasional dan ujian akhir pondok/asrama,” jelas
pak Hanafi.
“Bapak minta nanti kamu beritahu santri-santri
yang lain, untuk kumpul di masjid nanti sore ba’da ashar. Untuk santri putri bapak
minta Bu Suci untuk mengkoordinirnya.”
Aku menghela napas mendengar penjelasan Pak
Hanafi.
“Insya Allah, nanti saya akan kasih tahu teman-teman
yang lain,” jawabku.
Aku berpikir sejenak, tentang kegiatan bakti
sosial ini. Bakti sosial akan diadakan Ahad bulan depan. Aku mulai berpikir,
jangan-jangan ini nanti pas liburan semester. Kalau benar, berarti rencanaku
untuk pulang pada libur semester nanti akan tertunda. “Ya Allah semoga hamba
bisa pulang kampung. Dan bakti sosial tidak pas liburan semester nanti.”
“Gimana Mir ... sudah jelas.” Pak Hanafi
menegaskan
“Insya Allah sudah pak.”
“Ya sudah kalau begitu, bapak tunggu nanti sore di
masjid asrama putra.”
“Kalo begitu saya permisi dulu pak.”
Aku berdiri dan bersalaman dengan Pak Hanafi untuk
kembali menyapu. Aku meninggalkan Pak Hanafi di ruangannya yang begitu rapi dan bersih.
######
Sore telah datang menyapa, aku dan
santri yang lain bersiap-siap untuk menunaikan sholat ashar, Roni telah
mengumandangkan adzan. Dengan suara yang indah ia mengumandangkan panggilan
sholat itu. Sungguh indah karunia Allah. Kita diberi suara yang indah, otak
yang cerdas, haruslah kita gunakan sebaik-baiknya untuk memperjuangkan Agama Allah.
Aku dan Husen berjalan menuju
masjid. Kami sama-sama mengenakan baju gamis putih dan sarung yang biasa kami
gunakan untuk ke masjid. Bukannya tidak punya ganti, tapi baju dan sarung itu
adalah kesukaan kami. Baju dan sarung itu kita peroleh, karena kita mendapatkan
hadiah dari asrama sebagai kamar terbersih semester kemarin. Satu persatu
santri masuk ke dalam. Tanpa instruksi dari
Pak Hanafi, mereka langsung merapat ke shof-shof yang masih kosong. Aku dan
Husen duduk berdekatan. Ku lihat santri-santri yang lain duduk tenang berdoa
kepada Sang Maha Kasih Sayang. Aku pun mulai berdikir kepada Allah, agar selalu
diberi kesehatan dan keselamatan, sehingga dapat menyelesaikan sekolahku dengan
baik. Amin
Kini gilaran Raihan yang
mengumandangkan iqomah, suara Raihan tak kalah indah dengan suara Roni dan
Hasan. Memang sebagian besar santri-santri disini memiliki suara yang indah.
Santri-santri berdiri tertata rapi, memulai sholat mengikuti gerakan imam.
Kami telah selesai mengerjakan
sholat ashar. Kemudian berdoa masing-masing, memohon segala sesuatu kepada Sang
Pemberi Berkah. Di asrama kita tidak diajarkan berdoa bersama-sama, tetapi
berdoa masing-masing santri. Selesai berdoa, para santri berhamburan keluar
menuju serambi masjid, tempat rapat koordinasi akan dilaksanakan. Sambil
menuggu santri putri, mereka bercengkerama satu sama lain. Ada yang sampai
terbahak-bahak, ada juga yang bicara pelan-pelan. Kadang aku ikut tersenyum
mendengar celotehan anak-anak yang kadang lucu.
Santri putri sudah terlihat, aku
mengambil posisi, duduk disamping Pak Hanafi.
“Assalamu’alaikum”, sapa salah seorang putri santri yang juga sudah masuk
ke serambi.
“Wa’alaikumsalam”, jawab kami
Santri-santri putri duduk dan membuat barisan disamping kanan santri
putri. Aku bersiap-siap memulai rapay
koordinasi ini.
“Assalamu’alaikum,” kataku membuka forum ini. Aku pandangi seluruh santri.
Mulai dari ujung kanan sampai ujung kiri. Seluruh santri memperhatikanku. Rasa
minder mulai muncul, karena merasa masih harus banyak belajar. Tapi dengan
mengucap Bismillahi rahmani rahim aku membuang rasa grogi dan mencoba tenang.
“Wa’alaikum salam,” jawab mereka serentak.
Aku mulai rapat koordinator ini, Hasan bertugas sebagi notulen atau
sekretaris rapat. Selama sekretaris kegiatan belum terbentuk.
“Teman-temanku yang dirohmati Allah.”
Pada rapat koordinator sore hari ini,
marilah kita buka dengan Basmalah bersama-sama.
Tujuan saya mengumpulkan teman-teman
disini, tidak lain ialah karena pihak asrama akan mengadakan kegiatan bhakti
sosial di daerah terpencil. Kita diminta untuk menjadi koordinator kegiatan
tersebut. Pada sore yang cerah ini, kita akan mengadakan pemilihan panitia
kegiatan, untuk yang terpilih sebagai panitia, diharapkan bisa bekerja
semaksimal mungkin. Dan untuk yang tidak terpilih sebagai panitia bisa membantu
teman-teman panitia. Karena natinya kita semua juga yang akan menjadi peserta
bhakti sosial. Untuk kegiatan ini, hanya diikuti oleh santri tingkat I dan II
baik putra maupun putri.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk membantu
saudara-saudara kita yang benar-benar membutuhkan, dan yang terpenting adalah
untuk menyiarkan ajaran Islam. Kita diharapkan bisa memperkenalkan Islam kepada
masyarakat yang belum begitu mengenalnya.
Dalam rapat koordinator ini,
terpilih panitia kegiatan, yaitu :
Ketua I :
Amir Musthofa
Ketua II : Muhammad Husen
Sekretaris I : Siti Aminah
Sekretaris II : Hasan Al Basri
Bendahara I : Eka Fitriani
Bendahara II : Raihan
Sie. Kegiatan : Roni
Faizal, Azam Amiruddin, Aisyah, Tri Wulan
Sie. Konsumsi : Mufadilah, Basaroh, Cinta,
Salsabila, Rino dan Lukman
Sie. Humas : Ahmad Mahmudin, Zulfikar,
Aji Pangetu.
Sie. Kesehatan : Maulan dan Sinta
Demikanlah panitia kegiatan bhakti sosial
yang telah terbentuk. Kepada seluruh santri yang terlibat diharapkan mampu
bekerja sama dengan baik. Karena tanpa kerja sama yang baik kegiatan kita tidak
akan bisa berjalan lancar.
Terima kasih atas perhatian
teman-teman. Untuk koordinasi
selanjutnya, informasi menyusul. Saya cukupkan sekian.
Akhirukalam
Fastabiqul Khoirot
Wassalamu’alaikum,” kataku mengakhiri
rapat ini.
“Wa’alikum salam,” jawab mereka serentak.
Seluruh santri membubarkan diri dan
kembali ke kamar masing-masing. Aku, Husen dan Pak Hanafi masih tinggal di
serambi masjid. Kami mencoba bercengkerama, saling tukar pendapat dan
pengalaman. Karena usia Pak Hanafi tidak terlalu tua, jadi kita bisa berdiskusi
dengan enak.
“Amir ...,” pak Hanafi mengawali
pembicaraan.
Aku menoleh ke arahnya. Diikuti
Husen. Aku dan Husen terdiam menunggu ucapan Pak Hanafi selanjutnya.
“Bapak tidak salah memilihmu, kamu
memang berbakat menjadi seorang pemimpin. Begitu juga dengan Husen, kamu juga
harus banyak belajar kepada Amir. Menurut bapak kalian berdua punya kharisma
sebagai seorang pemimpin. Dan semoga kalian nanti kelak bisa menjadi
pemimpin-pemimpin yang amanah, dan tidak seperti pemimpin-pemimpin kita seperti
sekarang ini.”
“Amin.”
Sang surya mulai menuju ke
peraduannya, cahaya memerah yang memancar membuat indah sore ini. Aku sangat kagum
dengan setiap yang diciptakan Allah, semuanya memiliki keindahan yang
tersimpan. Kami memandangi sang surya yang nampak indah.
“Amir.” Kata Pak Hanafi melanjutkan.
Untuk semester depan, bapak harap
kamu bisa menjadi juara lagi. Karena ini bisa menjadi pelajaran bagi santri
lain. Meskipun kamu itu berasal dari keluarga yang sederhana, tapi juga punya
semangat belajar yang tinggi. Bapak bangga memiliki santri
seperti kalian.”
Mendengar ucapan Pak Hanafi itu, aku
teringat dengan papan tulis dan gambar pahlawan yang mendampinginya. Aku masih
penasaran dengan dengan itu semua. Husen tetap diam saja, tak berbicara satu
patah kata pun.
Sore ini langit nampak mendung,
seakan hujan tak sabar untuk menjatuhkan diri. Angin pun bertiup cukup kencang.
Mengombang-ambingkan dedaunan yang dilaluinya. Suara gemuruh tak mau
ketinggalan meramaikan sore ini. Aku masih mencoba memberanikan diri untuk
bertanya.
“Pak Hanafi, maaf sebelumnya. Kalau boleh saya mau tanya ?”
“Mau tanya apa, Mir ... ?”
“Mengenai papan tulis dan dua gambar pahlawan yang mendampinginya. Kalo
boleh tahu itu maksudnya apa ?”
Pak Hanafi menghela napas sebentar. Husen terkejut mendengar pertanyaaku.
“Memangnya kamu liat dimana?” Tanya Husen Penasaran.
“Oh, itu”. Jawabnya ringan
“Papan Tulis itu bapak gunakan sebagai cacatan, bahasa kerennya diary, yang
setiap kali bapak baca, dan bapak ganti jika bapak punya suatu ide. Papan tulis
itu juga bapak gunakan sebagai pengingat saja, kalau kita itu hidup tidak hanya
sekedar hidup, kalau sudah meninggal ya sudah selesai semua urusan. Tetapi kita
itu kita hidup karena kita punya tanggung jawab kepada Sang Pencipta dan akan
dimintai pertanggungjawabannya. Untuk gambar palawan itu, bapak jadikan sebagai
motivator perjuangan bapak dalam melaksanakan tanggung jawab itu. Bapak merasa
perjuangan dua beliau itu sangat besar baik untuk negara dan untuk agama.”
“Gimana sudah jelas.” Katanya mengakhiri penjelasannya.
Aku dan Husen diam mendengarkan
penjelasn Pak Hanafi. Kami mengangguk-anggukkan kepala. Husen masih saja
bingung. Papan tulis dan gambar pahlawan yang mana yang ditanyakan Amir.
Dia mencoba
menanykannya padaku.
“Papan tulis dan gambar pahlawan
yang mana Mir ....”
“Papan
tulis dan gambar Pahlawan itu berada di ruangan Pak Hanafi.” Kataku menjelaskan.
Husen
mengangguk-anguk seperti orang yang sudah paham.
Ternyata betul juga, apa yang
dikatakan Pak Hanafi. Kita harus selalu berhati-hati dalam bertindak dan
bersikap. Karena semuanya itu akan
dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah. Dan kita juga harus mempunyai
seorang motivator yang bisa membangkitkan semanagat kita untuk menjadi lebih
baik. Banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil dari pengalamanku masuk dan
memperhatikan ruangan Pak Hanafi yang sederhana tetapi membawa inspirasi.
Kami bertiga masih saja duduk di
serambi masjid sambil menuggu maghrib. Aku duduk disamping kanan Pak Hanafi
sedangkan Husen duduk di sampingku. Mendung masih saja menemani kami, seakan
tak mau ketinggalan mendengarkan perbincanganku dengan Pak Hanafi. Memang Pak
Hanafi selalu mencoba dekat dengan para santri disini. Dan Alhamdulillah usaha
itu berhasil. Seluruh santri merasa nyaman dengan keberadaan Pak Hanafi. Beliau
sangat sabar mengasuh kami, dermawan dan tidak membeda-bedakan kami, beliau
menganggap semua santri sama, yaitu anak asuhnya yang harus dididik dan dibina
agar kelak menjadi seorang muslim yang berguna.
Sedari tadi Husen hanya diam saja
tidak berkata satu kata patah pun, dia hanya mendengarkan perbincanganku dengan
Pak Hanafi. Husen memang seperti itu, dia kurang memikirkan sesuatu yang berada
di sekelilingnya. Maklumlah, anak seorang pegawai negeri sipil yang selalu
kecukupan. Berbeda dengan keluargaku, yang sangat sederhana, dengan jumlah
anggota keluarga yang lumayan banyak. Meskipun begitu, aku tetap bersyukur
dengan keadaanku.
PESAN
AYAH
Hujan masih saja enggan turun. Padahal mendung
hitam itu selalu memaksanya untuk menampakkan dirinya. Angin pun nampaknya
sudah mulai lelah mengombang-ambingkan pepohonan dan segala sesuatu yang
dilaluinya.
Daun pisang yang
cantik nampak hancur karena amukan angin. Pepohonan pun terlihat berserakan
karenanya. Mungkin marah karena hujan enggan turun dan enggan pergi.
Perasaanku sempat panik melihat
keadaan itu mungkin sama yang dirasakan Husen, cemas akan terjadi sesuatu yang
besar. Aku sempat berpikir, apakah Allah akan menunjukkan kebesarannya melalui
semua ini. Ataukah Dia memberi kita suatu peringatan agar kita tetap
berhati-hati seperti yang dikatakan Pak Hanafi. SubhanaAllah, begitu besar
kuasaan Allah yang menguasai seluruh alam semesta.
Perasaanku sedikit lega, angin perlahan reda, mendung pun sudah
tak menunjukkan kemarahannya. Angin dan
mendung sudah bersahabat. Sudah tidak saling menunjukkan kekuatannya.
Sejenak aku teringat keluargaku di rumah. Terutama ayah, yang
pernah muncul di mimpiku, memanggil-manggilku meminta aku untuk pulang meskipun
hanya sebentar. Ayah memang orang yang begitu dekat denganku. Aku dan ayah
sangat dekat, aku sering meminta nasehat pada hanya setiap kali aku mngalami
masalah. Meskipun sekarang aku jauh dari ayah, namun aku merasa dekat dekatnya.
Pesan-pesan ayah selalu kuingat dan mencoba untuk kuamalkan.
Salah satu pesan ayah yang selalu
kujadikan motivasi untuk rajin belajar ialah “Amir, kita memang orang pas-pasan. Tapi ayah percaya percaya kamu
bisa meraih mimpi-mimpimu. Ayah dan ibu sangat berharap kalau anak-anak ayah tidak
mengulangi kehidupan kami.”
Ayah selalu memberikan pesan-pesan
bijak kepada anak-anaknya. Terutama kepadaku. Ada beberapa pesan ayah yang aku
tulis dalam buku catatanku. Karena setiap kali aku lupa, aku bisa membacanya.
Ayah memang yang bijaksana. Seorang pemimpin yang bisa dijadikan tauladan bagi
keluarganya.
Sebanarnya ayah bukanlah lulusan
dari pondok pesantren. Atau bahkan mungkin tidak tamat sekolah dasar. Tapi cara
berpikir ayah tak kalah dengan cara berpikir para sarjana. Mungkin karena
tuntutan hidup yang memaksa ayah untuk berpikir secara logis dan bijak.
Lima belas menit lagi, maghrib akan
menyapa. Para santri yang tadi kembali ke kamarnya kini bersiap-siap kembali
lagi ke masjid. Aku, Husen dan Pak Hanafi pun juga bersiap-siap. Aku dan Husen
mulai menyapu lantai masjid yang yang kotor karena ulah angin yang tak
bertanggung jawab. Pak Hanafi pergi ke
Kamar mandi untuk mengambil air wudlu.
“Mir, supaya cepat selesai, kita
berlawanan arah saja. Kamu dari kanan aku dari kiri.”
Aku menuruti permintaan Husen. Aku
menyapu dari arah kanan sedangkan husen menyapu dari arah kiri. Masjid asrama
tidak terlalu besar. Mungkin hanya butuh waktu sekitar 5-10 menit untuk menyapu
lantai dalam masjid dan serambinya.
Aku dan Husen cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan kami, karena para jamaah
sudah mulai berdatangan. Meskipun belum terdengar Adzan, mungkin karena sudah
menjadi kebiasaan jamaah yang berusaha datang lebih awal sebelum Adzan
dikumandangkan. Sungguh pemandangan dan tradisi yang sangat baik.
Aku juga kurang tahu sejak kapan tradisi ini berawal. Tapi semenjak aku
tinggal disini. Masyarakat sudah terbiasa dengan tradisinya. Pertama kali aku
melihat mereka. Aku sempat kurang percaya. Masyarakat yang sebagian besar
petani, yang selalu disibukkan dengan pekerjaannya di sawah. Namun ketika
mendekati waktu solat mereka berbondong-bondong ke masjid untuk solat
berjamaah. Sungguh menakjubkan.
Kami hampir selesai menyapu lantai. Husen bergegas mengambil tempat sampah
di gudang masjid. “Dasar angin, Cuma bisa bikin kotor saja.” Gumamku. Aku masih
menyelesaikan pekerjaanku sembari menunggu Husen kembali membuang sampah. Ku
lihat Pak Hanafi sudah mengambil posisi untuk melakukan Sholat takhiyatal
masjid. Kupandangi beliau, setiap geraknya membuat aku merasa iri kepada
beliau. Yang masih begitu muda tetapi sudah memiliki pemikiran yang cukup
dewasa. Jika dilihat dari perjalanan hidupnya, Pak Hanafi tak jauh beda
denganku, yang sama-sama dari keluarga yang sederhana. Karena tekad dan
cita-cita Pak Hanafi yang kuat sehingga mampu mengantarnya menjadi seperti
sekarang ini. Sungguh bahagia gadis yang mendapatkan Pak Hanafi.
Di asrama ini, aku mendapatkan banyak sekali pelajaran yang tidak aku
dapatkan di sekolah. Disini aku dilatih untuk hidup mandiri, berpikir logis dan
kritis namun masih pada koridor yang wajar, disiplin, tekun dan teliti dan
masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu-satu.
“Ayo Mir, buruan disapu, keburu adzan.” Husen memintaku untuk segera
menyelesaikannya. Cepat-cepat kuselesaikan. Husen menunggu ditangga masjid
sambil memposisikan tempat sampah agar sampah yang aku sapu tidak berserakan
lagi. “Nyapu kok sambil melamun,” katanya lagi ketus. Karena tadi Husen sempat
melihatku melamun sebentar.
######
Malam sudah datang menyapa. Seluruh santri masuk ke kamarnya masing-masing
untuk melakukan tadarus Al-Qur’an. Dengan suara yang indah mereka melantunkan
ayat-ayat suci yang telah terangkai indah. Menambah suasana malam semakin
indah. Malam ini binatang malam belum bernyanyi, sehingga yang terdengar
hanyalah lantunan ayat-ayat cinta yang indah. Mendung hitam dan angin kencang
yang tadi sempat menunjukkan kebringasannya, sekarang sudah tak menampakkan
batang hidungnya lagi. Kini tinggal langit dengan taburan bintang-bintang yang
selalu tersenyum pada siapa saja yang melihatnya.
Aku dan Husen masih bertadarus melantunkan ayat-ayatNya. Sambil menunggu
jam makan malam. Seluruh santri diberikan waktu istirahat sebentar. Di waktu
istirahat seperti ini, aku dan Husen hanya di dalam kamar. Tak tahu dengan
santri yang lain, mungkin keluar asrama untuk mencari udara baru di luar
asrama. Biasanya aku dan Husen hanya tidur-tiduran di tempat tidur, baca buku
dan sering menulis puisi untuk mencurahkan isi hati.
Untukmu malam ini
Malam yang penuh dengan bintang
Serta rembulan yang tersenyum tanpa beban
Untukmu malam ini
Malam yang indah yang penuh doa
Doa seorang hamba yang berkelana
Mencari ilmu untuk bekal masa tua
Banyak sekali harapan
Banyak sekali angan-angan
Dan banyak sekali impian
Yang tersimpan dalam lubuk hati paling
dalam
Tuhan .......
Dengarkanlah doa hambamu
Doa seorang anak jalanan
Yang ingin mendapatkan kebahagian Syurga
Menulis puisi dapat membuat hatiku lebih tenang. Seluruh kegundahan
kutuangkan dalam tulisan. Berbeda dengan Husen. Dia lebih sering membaca
buku-buku cerita yang dibawanya dari rumah. Meskipun berbeda, aku dan Husen
sering kali bertukar pendapat tentang suatu hal yang menurut kami sangat perlu
dibicarakan. Bisa dikatakan kami mengadakan sebuah rapat kecil-kecilan untuk
mendapatkan sebuah opini dari sebuah permasalahan. Di depanku Husen sangat
pandai berbicara dan mengeluarkan argumentasi yang cukup baik. Tapi sayangnya
dia kurang berani berargumen jika berhadapan dengan banyak orang.
“Amir, tak terasa ternyata kita disini sudah hampir dua tahun,” katanya.
Aku menolah ke Husen yang sedang merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Dia
masih membaca buku.
“Iya, tak terasa kita sudah mendapatkan separoh jalan di asrama ini.” Aku duduk di meja
belajarku, menghadap ke arah Husen yang masih asyik dengan bukunya. Husen tak begitu memperhatikan posisiku. Dia
sibuk membolak-balikkan halaman demi halaman bukunya.
“Kamu mau baca to, kok dari tadi Cuma dibolak-balik ?”
“Mau tahu aja, lanjutkan saja belajarmu. Makan malam masih lima belas menit
lagi.”
Husen masih saja membolak-balikkan halaman bukunya. Entah apa yang dia
cari. Ku lanjutkan membacaku yang tadi sempat terhenti karena menulis puisi. Dengan
lampu yang tak begitu terang aku buka lembar-lembar bukuku. Maklum saja, di
asrama itu satu kamar hanya ada satu lampu dan satu meja belajar. Jadi, kalau
belajar meja belajarnya bergantian dengan santri yang lain. Jam makan malam pun
telah datang. Para santri berhamburan menuju dapur, tak terkecuali aku dan
Husen. Kami antri satu persatu mengambil jatah makan. Sambil menunggu antrian
para santri itu bercanda satu sama lain. Maklum namanya saja remaja, pasti
selalu canda yang dibuatnya. Ku lihat Hasan asyik bercanda dengan Zulfi dan
Roni, entah apa yang yang dibahas, mereka terlihat sangat asyik. Tak
ketinggalan juga Raihan dan Faisal, mereka berdua lebih nampak serius dengan
pembicaraan mereka, seperti orang-orang besar yang sedang berbincang-bincang
tentang masalah politik.
Malam ini, nampaknya menu makan malam agak berdeda. Jumlah sayur dan lauk
lebih banyak. Tidak tahu dalam rangka apa, yang jelas berbeda dengan biasanya.
santri pun merasa senang dengan menu yang tersaji saat ini, mereka dapat makan
lebih dan dapat memilih menu yang mereka suka.
Aku mengambil tumis kangkung dan tempe goreng. Menu ini makan kesukaan.
Apalagi jika yang memasak ibu, sungguh nikmat rasanya.
“Kok Cuma ambil itu Mir,” kata Raihan.
Husen terlihat sibuk memilih menu-menu yang tersedia.
“Ayo Mir, ambil sebanyak-banyaknya, mumpung lagi banyak makanan,” teriak
Husen yang lagi sibuk dengan piringnya.
###########
Langit cerah, mendung yang tadi sore
menghitam sudah tak nampak. Angin malam perlahan menyapaku yang sedang duduk di
depan kamar asrama. Kupandangi langit cerah itu, sungguh menawan. Andai saja
ada bintang yang nampak, pasti akan menambah indahnya malam ini. Malam ini tak
terasa seperti malam kemaren. Hatiku lebih tenang dan lebih nyaman menikmati malam.
Kubuka buku catatan yang sedari tadi pegang. Ku baca deretan tulisan yang
tersusun rapi. Sengaja tulisan itu ku tulis agar aku tak bosan membacanya. Tulisan
itu ialah kumpulan pesan ayah padaku. Setiap kali ayah berpesan, kucoba untuk
menulisnya agar aku selalu ingat. Saat ini, aku merasa rindu dengan keluargaku.
Aku teringat dengan tawa dan canda adik-adikku, santi dan ridwan. Sedang apa
mereka. Mereka juga begitu dekat dengan ayah, sama sepertiku. Ayah memang
selalu mencoba dekat dengan anak-anaknya.
Santi sekarang berumur tujuh tahun
dan sudah masuk ke sekolah dasar. Santi dimasukkan ke madrasah ibtidaiyah.
Sedangkan ridwan sekarang duduk di madrasa tsanawiyah. Beban ayah cukup karena
harus membiayai ketiga anaknya yang masih duduk dibangku sekolah. Karena itu
aku harus bisa mempertahankan prestasiku di sekolah agar tetap mendapatkan
beasiswa.
Binatang malam belum mulai
berdendang. Malam pun masih sepi. Hening tak ada satu pun suara.
“Lagi apa Mir ?”
Raihan datang dari samping kana. Mendekatiku mencoba menemaniku yang duduk
sendiri.
“Husen kemana ?”
Katanya sembari duduk di sampingku.
“Mungkin dia sudah tidur. kekenyangan. Soalnya tadi makan terlau banyak.”
“Memang dasar Husen itu, belum bisa mengontrol makannya. Padahal dia itu
sudah hampir dua tahun bersamamu, tapi kok belum bisa seperti kamu ya.”
“Seperti apa maksutnya ?”
“Ya seperti kamu, pinter, rajin pendiam, sederhana.”
“Ah, Biasa saja. Jangan terlalu memujiku nanti aku jadi GR.”
Kami berdua memandangi langit di sela-sela perbincangan. Aku diam, Raihan
pun ikut diam. Raihan memandangi sekeliling asrama, yang terlihat terang karena
sorot lampu yang terdapat disetiap sudut asrama. Raihan temanku satu kelas di
sekolah. Dia termsuk anak yang rajin dan cerdas. Dia juga berasal dari keluarga
sederhana sama sepertiku. Dia memiliki semangat untuk merubah diri. Dia selalu
mengingat firman Allah, bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum
kecuali dirinya sendiri. Sepertinya Raihan mempunyai motivasi yang sama
denganku. Meski sudah hampir dua tahun kita kenal, namun baru kali aku ngobrol
berdua. Aku lebih sering mengobrol dengan Husen dan Pak Hanafi.
“Mir, sepertinya malam ini begitu indah, mungkin pengganti malam—malam
sebelumnya. Hatiku begitu tenang menikmati malaah tak bisa dikatakan dengan
kata-kata. Andai saja ada
bintang-bintang yang tersenyum diatas sana. Pasti keindahan malam ini terlihat
lengkap. Memang Allah itu Maha Indah, sehingga apa-apa yang diciptaknNya selalu
terlihat indah.”
Aku heran mendengar ucapan Raihan. Kenapa dia bisa berkata seperti itu,
apakah dia juga merasakan sama denganku. Yang selalu gelisah melewati
malam-malam sebelumnya. Selain itu, ternyata Raihan juga bisa pandai merangkai
kata-kata indah mengungkapkan keindahan malam ini.
“Iya, kamu benar Han. Aku juga merasakan sama denganmu. Malam ini nampak
indah berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Malam ini begitu tenang, meski
tadi sore sempat tak terkendali. Aku
sangat menikmati malam ini, rasanya, aku tak ingin melawatkan malam ini. Malam
yang begitu indah. Semoga malam-malam berikutnya tak kalah indahnya.”
“Oya, Mir. Tadi pagi, katanya kamu dipanggil Pak Hanafi, memangnya ada
apa?, ada masalah dengan prestasimu ?”
“Gak, Pak Hanafi memanggilku karena beliau memintaku untuk mengkoordinir
teman-teman dalam kegiatan bakti sosial. Kamu tahu tidak Han. Ruangan Pak
Hanafi itu sangat rapi. Beda dengan kamar para santri, yang terlihat rapi jika
akan ada peninjauan dari pihak asrama. Aku bangga punya pengasuh asrama seperti
Pak Hanafi. Beliau bisa , dijadikan tauladan bagi kita semua. Subkhanallahin,
andai saja semua pemimpin kita seperti Pak Hanafi, pasti negara kita akan aman
dan tentram.”
“Memangnya ada apa di ruangan Pak Hanafi ?”
“Di dalam ruangan Pak Hanafi, aku melihat papan tulis yang disamping kanan
dan kirinya terdapat gambar pahlawan nasional. Yaitu gambar KH. Ahmad Dahlan
dan Buya Hamka.”
“Terus, tujuan papan tulis dan gambar pahlawan itu apa ?”, tanya Raihan
penasaran.
Raihan juga nampak penasaran sama seperti Husen waktu mendengar
pertanyaanku pada Pak Hanafi tentang papan tulis dan gambar itu. Memang selama
ini Raihan belum pernah masuk ke dalam ruangan Pak Hanafi, karena Pak Hanafi
jarang sekali menyuruh santri masuk ke ruangannya. Karena setiap kali ada perlu
dengan santri beliau langsung mencarinya ke kamar santri tersebut.
“Menurut penjelasan Pak Hanafi tadi, papan tulis itu beliau jadikan sebagai
catatan hidupnya, terus untuk gambar pahlawan tersebut dijadikan sebagai
motivasi perjuangannya.”
“Wah bagus sekali itu, jadi kita bisa diingatkan oleh catatan kita sendiri.
Dan kita bisa selalu terinspirasi dengan perjuangan para pahlawan yang tak
kenal lelah. Memang Pak Hanafi itu berbeda dengan pemuda yang lainnya.”
Raihan merasa tergugah semangatnya mendengar penjelasanku. Sama sepertiku
waktu mendengar penjelasan Pak Hanafi. Ku lihat Raihan mengangguk-amggukkan
kepala, sepertinya memikirkan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.
Yang aku tahu dia mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar penjelasanku
tentang ruangan Pak Hanafi. Mungkin dia juga terinspirasi dengan Pak Hanafi
dengan papan tulis dan gambar pahlawannya.
Kami berdua diam lagi sejenak. Raihan masih sibuk dengan pikirannya dan aku
mulai membuka buku catatanku yang dari tadi kupegang. Kubuka kembali
tulisan-tulisan motivasiku. Ini bukan dari seorang motivator hebat, tapi
tulisan ini adalah hasil karya pemikiran ayahku sendiri. Ayah memang hebat.
Di salah satu halaman kutuliskan pesan ayah
“Ayah tidak bisa mewarisimu harta yang melimpah, tetapi ayah hanya bisa
mewarisimu ilmu yang banyak. Yang nantinya bisa kamu jadikan jalan untuk
mendapatkan kebahagian. Karena kebahagian itu tidak diukur dari banyaknya
harta. Tapi kebahagiaan itu akan tercipta jika kita merasa nyaman dengan
orang-orang yang berada disekitar kita. Dan jadikanlah hidupmu bermanfaat bagi
orang lain. Jangan sampai kamu memanfaatkan orang lain dan dimanfaatkan orang
lain.”
Aku terenyuh membaca tulisan itu. Hatiku tergetar dan semangatku pun mulai
membara. Ayah, aku akan berusaha menjadi apa yang ayah harapankan.
“Mir, itu buku apa ?” tanya Raihan
“Kok sepertinya sangat penting ?” tambahnya lagi.
Raihan sudah selesai dengan pikirannya. Dia mulai memperhatikanku dengan
bukuku. Dia penasaran dengan buku yang aku pegang.
“Ini buku catatanku yang akau bawa dari rumah.”
“Maksudmu buku diari ya ?”
“Ah, gak juga. Ini buku catatan yang isinya itu pesan-pesan ayahku yang aku
tulis agar tidak lupa”.
“O..., seperti itu to. Kamu hebat ya. Sama seperti Pak Hanafi, yang selalu
menulis catatan yang nantinya dapat dijadikan kontrol kita dalam menjalani perjalanan
hidup.”
“Ah, tidak juga.”
Aku merasa tersanjung dengan ucapan Raihan. Aku merasa biasa saja, tak
sehebat yang dia bayangkan. Karena masih banyak orang-orang hebat di luar sana.
“Boleh pinjam bukunya Mir ?”
Raihan penasaran juga degan isi buku ini. Dia mencoba meminjamnya untuk
dibaca sebentar. Tidak hanya aku saja mempunyai buku catatan, mungkin Raihan
sendri juga punya. Bisa jadi lebih baik dari buku catatanku. Raihan mulai
membaca satu persatu halaman buku catatanku. Dia terlihat tersenyum dan mengungguk-anggukan
kepala membaca catatanku. Mungkin setuju dengan seluruh catatanku itu.
“Bagus sekali Mir. Isinya sangat menggugah jiwa dan mengobarkan semangat
kita untuk terus berbuat baik dan terus belajar. Ayahmu itu seorang motivator
ya ?”
“Tidak juga.”
“ La terus apa ?”
“Ayahku hanya seorang petani.”
“Jangan bohong kamu Mir ?”
Raihan kurang percaya dengan jawabanku. Dia tidak percaya kalau ayahku itu
seorang petani. Dengan membaca catatanku itu, dia mengira ayahku seorang
motivator besar.
“Iya, aku tidak bohong. Kalau kamu tidak percaya, nanti pas liburan sekolah
kamu bisa main ke rumahku.” Untuk meyakinkan raihan tentang ayahku, kuajak dia
untuk berkunjung ke rumahku.,
“Oya, Han. Pasti kamu juga catatan seperti ini ?”
“Punya sih, tapi tak sebagus ini. Dan juga isinya tak sebanyak ini. Aku
hanya menuliskan pesan-pesan ayahku.”
“Itu kan juga sama, ini juga pesan-pesan ayahku.”
Raihan nampak mulai sedih setelah aku menanyakan buku catatannya. Aku tidak
tahu apa penyebabnya. Apakah ada yang salah pertanyaanku tadi. Aku jadi tak
enak hati melihat Raihan. Dia menundukkan kepala. Mungkin dia mulai teringat
dengan keluarganya di rumah. Raihan memang jarang sekali pulang ke rumah.
Terakhir dia pulang waktu Idhul Fitri.
“Kamu kenapa Han ?” tanyaku “Kamu sakit ?”
“Gak, aku Cuma teringat ibu.”
“Kenapa ibumu ?”
“Aku kasihan dengan ibu, dia berjuang sendiri membesarkan anak-anaknya. Aku
sedih karena aku belum bisa membuat ibu bangga padaku.”
Aku semakin tak mengerti dengan
perasaan Raihan. Dia bilang ibunya berjuang sendiri membesarkan anak-anaknya.
Terus ayahnya kemana ?. Aku ingin sekali bertanya ayahnya kemana. Tapi takut
Raihan nanti malah menjadi tambah sedih. Ternyata selama ini, ada yang lebih
bingung dariku. Dulu aku perpikir hanya aku saja yang dilanda perasaan bingung.
“Sudahlah Han, kita berdoa saja. Semoga ibumu selalu diberi kesehatan dan
kesabaran dan berjuang memelihara titipan Allah ini. Kita sebagai anak harus
selalu berbakti kepada mereka. Agar mereka merasa puas dan bangga terhadap
kita. Dan merasa berhasil dengan perjuangannya.”
“Han, aku dulu juga sempat berpikir seperti itu, belum bisa membuat bangga
orang tua, tapi aku percaya pada diriku, aku bisa menjadi kebanggaan orang tua.
Kita harus bisa seperti Pak Hanafi yang selalu percaya diri dalam setiap
tindakannya. Selain itu, kita juga harus percaya akan kebesaran Allah yang
selalu memberi jalan terbaik bagi umatNya yang bertaqwa.”
Aku berbicara panjang lebar. Bagaikan seorang ustad yang sedang memberikan
tausiyah kepada santrinya. Memberikan motivasi kepada Raihan yang sebenarnya
itu kuberikan untuk diriku sendiri. Aku dan Raihan mengalami hal yang sama.
Perasaan tak karuan yang muncul dalam dalam diri karena kurangnya percaya diri.
Karena asyiknya ngobrol, tak terasa malam kian larut. Dendangan binatang
malam mulai terdengar memencah keheningan malam. Bintang mulai tersenyum satu
persatu, membuat malam semakin indah.
“Lihat Han, bintang mulai tersenyum pada kita. Mereka tahu apa yang kita
rasakan.” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan agar Raihan tak teringat lagi
pada ibunya. Raihan terpengaruh ucapanku. Dia menatap langit dan melihat
senyuman bintang itu padanya. Raihan mulai tersenyum dan sedikit membuang rasa
rindunya.
“Iya kamu benar. Bintang itu tersenyum pada kita. Seakan dia tahu apa yang
kita rasakan.”
Binatang malam semakin indah berdendang. Sahut-sahutan memecahkan
keheningan malam. Angin sepoy malam pun tak mau kalah. Dia melambai-lambaikan
tangan menyapa kami berdua yang masih setia menemaninya. Di teras asrama kami
berdua duduk berdampingan menyaksikan keindahan malam. Kami duduk menatap
langit malam yang hitam dengan cahaya bintang.
Aku teringat pada buku yang pernah aku baca di perpustakaan sekolah. Imam
Ghazali dalam bukunya menjelaskan “Puncak
ilmu pengetahuan ialah apabila dirimu mngetahui sedalam-dalamnya makna taat dan ibadat. Taat dan ibadat ialah
tunduk kepada Allah serta melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala
laranganNya baik dalam perkataan maupun perbuatan.” Ini sama dengan apa
yang dikatakan Pak Hanafi tadi sore kalau kita harus selalu menjaga lisan dan
tingkah laku kita, karena semua itu kelak akan dipertanggungjawabkan kepada
Sang Maha Pencipta.
“Amir, sudah larut malam. Kamu tidak istirahat ?”
Mungkin Raihan sudah mulai mengantuk, dia mengajakku untuk beristirahat.
Dia memandangiku, menuggu jawabanku.
“Aku masih ingin disini Han, kalau kamu mau istirahat, duluan saja. Nanti
aku menyusul. Aku masih ingin menikmati malam indah.”
Rasanya aku tak ingin melewatkan malam ini. Aku ingin menikmati malam ini
hingga sang fajar menyapaku esok hari. Mataku masih tak rela untuk dipejamkan.
Malam ini seakan menggantikan malam-malamku sebelumnya yang kurang bersahabat.
Raihan masih saja menemaniku. Dia menatap langit kembali. Berharap bisa
melewati malam ini bersamaku.
“Han, kadang aku berpikir. Apa yang
akan kita kerjakan nanti setelah lulus dari sini. Pulang ke rumah, membantu
orang tua mengerjakan pekerjaan rumah. Apakah selamanya kita akan seperti itu.
Dan apakah kita juga akan mengalami nasib yang sama dengan orang tua kita. Mau
melanjutkan sekolah, tapi tak ada biaya.” Kataku sedikit lesu.
“Kadang aku juga berpikir seperti itu, tapi semakin aku pikirkan.
Perasaanku semakin binggung, terus muncul rasa pesimis kalau kita tak bisa
meraih apa yang kita harapkan. Ya sudahlah Mir, kita serahkan semuanya pada
yang Maha Bijaksana. Insya Allah kalau kita memang benar-benar ikhlas Allah
akan menunjukkan jalan terbaik pada kita.”
Aku menghela napas pendek mendengar penjelasan Raihan. Kami berdua layaknya
seorang politikus yang sedang beradu argumentasi. Saling melontarkan pertanyaan
yang harus dijawab oleh lawan bicara.
“Mir, kok kita seperti politikus ya, yang suka beradu argumentasi. Lucu
rasanya.”
“Apanya yang lucu ?”
“Topik pembicaraan kita.”
“Biasa saja. Kita kan Cuma mengutarakan pikiran kita. Jadi kita beda dengan
politikus itu, kalau mereka mengutarakan argumentasinya karena mereka memang
perlu mengutarakannya ke publik. Supaya bisa dijadikan bahan koreksi. Kalau
kita, kita mengutarakan argumentasi kita, argumentasi itu kita pakai sendiri
dan tidak diumumkan ke publik.”
Raihan sedikit tersenyum. Sepertinya rasa ngantukknya sedikit terobati
dengan pembicaraan kita tadi. Angin sepoy masih saja menemani kami. Bintang pun
terlihat semakin banyak yang memberikan senyumnya.
############
Sang fajar mulai menampakkan sinarnya. Ayam jantan mulai bersahut-sahutan
menunjukkan suara lantangnya. Seruan sholat subuh sudah terdengar merdu. Aku
dan Raihan masih saja duduk menghabiskan malam ini. Ditemani bintang yang tak
lelah memberikan senyum.
Di dalam sana Husen masih terpulas tidur. Menikmati mimpi-mimpinya yang
selalu indah untuk diingat. Dia selalu menceritakan mimpi-mimpinya padaku,
meskipun itu sangat tak panatsa diceritakan. Aku hanya diam mendegarkan
ceritanya dengan alur yang kurang tertata rapi. Dasar Husen, Anak Manja yang
terbiasa hidup enak. Meeskipun begitu, dia sangat perhatian pada
teman-temannya. Dia selalu memberikan bantuan pada teman-temannya yang
kesulitan. Terutama aku yang sangat sering sekali mendapat bantuannya. Allah
itu memang Maha Adil. Setiap ada
kekurangan pasti ada kelebihan.
“Mir, Aku masuk dulu. Siap-siap mau ke masjid.”
Raihan turun dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju kamarnya yang
kebetulan berada disamping kamarku. Dia satu kamar dengan Zulfi.
“Iya, aku juga mau siap-siap ke masjid. Terima kasih sudah mau menemaniku
malam ini. Mungkin lain kali kita bisa lanjut perbincangan kita.”
Raihan berhenti mendengar ucapanku.
“Iya, sama-sama. Aku juga senang bisa berbagi pengalaman denganmu, saya
harap ini tidak hanya kita yang terlibat dalam perbincangan ini, tetapi semua
teman-teman kita. Agar mereka mempunyai semangat yang membara seperti Pak
Hanafi.”
Aku masih saja duduk, meskipun
Raihan sudah masuk ke dalam kamarnya. Sejenak aku masih menikmati suasana pagi
ini. Udara yang sejuk, agakkejantanannya.
Hal ini berbeda dengan Husen, yang masih terlelap tidur, tak mendengar
teriakan ayam jantan.
Ku sudahi saja menikmati pagi ini. Aku harus segera siap-siap ke masjid dan
membangunkan Husen yang masih tidur pulas. Setiap pagi Husen harus selalu
dibangunkan kalau tidak ingin terlambat ke masjid. Husen bangun tidur sendiri
tanpa dibangunkan itu bisa dihitung dengan jari.
Ku dekati tempat tidur Husen.“Husen, bangun sudah subuh, ayo ke masjid” ke
tepuk-tepuk pundaknya. Dia diam saja. Kuulangi lagi sampai tiga kali. Ini yang
terakhir, kalau masih belum bangun aku tinggal ke masjid. “Husen” dengan nada
yang agak keras.
“Iya, iya.” Perlahan dia mulai menggerakkan badannya. Mungkin juga merasa
kesal dengan suaraku yang tak henti-hentinya membangunkannya. Dengan wajah yang
masih lusuh, rambut yang acak-acakan dia bangkit dari tempat tidurnya menuju
kamar mandi. Aku mengeleng-gelengkan kepala melihat Husen. Sudah hampir dua
tahun di asrama tapi masih saja sama dengan di rumah.
Menunggu sedikit lama, Husen keluar dari kamar mandi. Aku pun masuk ke
kamar mandi untuk mencuci muka. Aku dan Husen menuju ke masjid. Disusul Zulfi
dan Raihan di belakangku. Santri yang lain telah berada di masjid, berjajar
rapi pada shaf yang telah tersedia. Ini sudah menjadi rutinitas kita, kita
selalu melakukan solat jamaah di masjid. Tak ada santri yang solat sendiri di
kamar kecuali yang sakit. Mungkin ini juga menjadi rutinitas di asrama putri.
#########
Sore ini, aku berencana mengumpulkan panitia kegiatan Bakti sosial. Aku
sudah memberi tahu teman-teman yang lain. Begitu juga Pak hanafi sebagai
pembimbing kegiatan. Aku menunggu teman-teman di serambi masjid, tempat
koordinasi yang pertama. Teman-teman putra sudah mulai berdatangan, tinggal
teman-teman putri belum terlihat. Mungkin masih dalam perjalanan. Mereka yang
sudah datang duduk ditempat yang telah kita sediakan. Sambil menunggu
teman-teman putri mereka bersenda gurau, maklum nama saja anak-anak muda, masih
suka bersenda gurau dengan teman, meskipun setiap hari bertemu bahkan setiap
detik bersama. Tapi ada saja yang diperbincangkan hingga memunculkan tawa.
Teman-teman putri sudah terlihat masuk ke lingkungan asrama putra. Nampaknya
seluruh anak putri bisa menghadiri koordinasi ke dua ini. Anak-anak putra mulai
terdiam milhat anak-anak putri sudah mendekati masjid. Mungkin mereka memasang
muka sopan dan ramah agar ada salah satu dari mereka yang tertarik dengan anak
putra.
Sekarang seluruh panitia sudah berkumpul. Aku mulai memulai koordinasi ini.
Dalam koordinasi ini, kita tidak membahas mengenai kegiatan bakti sosial.
Melainkan membahas membahas mengenai persiapan Tahun baru Islam, yang diadakan
Pawai Ta’aruf. Karena ini merupakan agenda terdekat, jadi kita fokuskan
terlebih dahulu pada kegiatan Pawai Ta’aruf nanti. Untuk persiapannya nanti
akan kita mulai besok pagi. Karena waktunya tinggal satu minggu. Aku meminta
teman-teman untuk mempersiapkan perlengkapannya. Agar kegiatan ini dapat
berjalan lancar dan persiapan kegiatan bakti sosial tidak terbengkalai. Aku
membentuk dua tim, yang satu tim fokus di Pawai ta’aruf dan tim yang satunya
fokus di persiapan kegiatan bakti sosial. Alhamdulilah koordinasi ini berjalan
lancar. Seluruh panitia sudah memahami tugasnya masing-masing.
Rapat koordinasi sudah selesai. Santri putri mulai meninggalkan masjid dan
santri putra sebagian juga kembali ke kamar mereka. Sebagian lagi masih
melanjutkan perbincangannya tadi yang tertunda.aku juga masih tinggal di
masjid. Kali ini ku duduk bersama Pak Hanafi, Raihan dan Husen. Kami berempat
duduk berhadapan membentuk lingkaran kecil.
Raihan nampaknya akan memulai pembicaraan ini.
“Amir, gimana rasanya semalaman tidak tidur ?”
Husen terlihat kaget mendengar pertanyaan Raihan. Dia tidak tahu kalau aku
tidak tidur tadi malam. Dia menatapkan seakan kurang percaya, dan mencoba
mencari kebenarannya.
“Alhamdulillah, sampai saat ini aku belum merasakan apa-apa.” Aku tersenyum
kepadanya.
“Lo, kenapa tidak tidur ?” Pak Hanafi menanyakannya kepadaku.
“Tidak bisa tidur pak, dan kebetulan malam itu langit tampak indah
dipandang. Ya sudah aku putuskan untuk tidak melewatkannya. Malam itu aku tidak
sendiri, aku ditemani Raihan hingga fajar.”Pak Hanafi mengangguk kepala diikuti
Husen.
“Amir, kamu itu aneh. Dulu kamu gak bisa tidur karena teringat keluarga di
rumah, terus merasa ada yang memanggil dan menasehati, sekarang alasannya
karena malam itu indah.” Kali ini Husen angkat bicara, karena merasa kurang
mengerti apa yang aku lakukan. Memang selama ini, Husen lah yang mengetahui apa
yang aku alami di malam-malamku akhir-akhir ini.
“Memangnya ada Mir, kalau ada masalah cerita saja sama Bapak. Insya Allah
bapak akan bantu.”
“Iya Mir, kalau kamu memang ada
maslah, cerita saja sama kita. Kita akan mencoba membantu.” Raihan menambahkan.
Aku hanya diam tak menjawab. Bukannya kau tidak mau bercerita kepada
mereka. Tapi kembali lagi, apa akan aku ceritakan kepada mereka. Aku saja masih
bingung dengan perasaanku ini. Seperti seorang pemuda yang sedang jatuh cinta.
Jatuh cinta ! kali ini aku teringat dengan gadis kecilku, yang sampai
sekarang tak pernah bertemu. Dia gadis kecil yang manis, imut dan menggemaskan.
Mungkin sekarang dia sudah sepertiku. Sudah duduk di bangku SMA. Seperti apa
dia sekarang ? Pikiranku membayangkannya. Berharap akan bertemu lagi dengan
gadis kecilku.
“Tidak ada Apa-apa kok ? mungkin karena aku merasa kabgen dengan keluarga
di rumah, jadi terbawa perasaan saja.”
Suasana masjid masih ceria. Karena santri yang tinggal di masjid belum
mengakhiri guruannya. Hanya beberapa santri saja, tapi terdenganr seperti ada
banyak sekali santri. Memang ini menjadi kebiasaan santri putra. Sambil
menunggu adzan maghrib mereka bersenda gurau di serambi masjid.
“Jangan lupa persiapan Pawai Ta’arufnya ? Apa saja yang akan dipakai dan
dibawa ?” Pak Hanafi mengingatkan kita pada kegiatan pertama kita. Kami hanya
tersenyum kecil mendengar pertanyaan pak Hanafi.
“Menurut bapak, sebagaiknya kita memakai konsep seperti apa ?” tanyaku.
“Kalau itu, terserah kalian saja, bagaimana enaknya. Yang penting menarik,
kreatif, inovatif dan tidak melanggar norma. Kalian tahu kan, maksud bapak.”
“Bapak hanya berpesan, kalian semua harus jaga sikap. Tunjukkan kalau
sekolah itu memang benar-benar sekolah unggulan yang bisa dipertanggungjawabkan.”
#######
Pagi ini langit nampak cerah. Semoga secerah harapan kami semua. Meskipun
sedang menghadapi ujian semester, tetapi kami tetap bekerja mempersiapkan
kegiatan yang akan kami laksanakan. Ujian tak membuat langkah kami terhambat.
Kata Pak Hanafi kita harus bisa selalu membagi waktu, karena waktu tidak akan
kembali dan terulang lagi. Kita harus bisa menggunakan waktu sebaik mungkin.
Jangan sampai kita menyesal karena menyia-nyiakan waktu.
Para santri mulai sibuk dengan
pekerjaannya mempersiapkan kegiatan Pawai Ta’aruf. Mereka mulai
memikirkan konsep yang akan digunakan. Hasan mengusulkan konsep religi. Raihan
mengusulkan konsep nasionalisme. Dan kita sepakat akan mengunakan konsep yang diusulkan Raihan.
Itu sangat bangus sekali. Karena melihat fenomena sekarang. Banyak sekali
remaja Indonesia yang tidak mengerti akan nasionalisme dan seberapa pentingnya
nasionalisme itu. Dengan konsep ini, diharapkan para peserta mulai menyadari
akan pentingnya nasionalisme itu untuk kemajuan bangsa.
Sepulang sekolah kita akan berkumpul di masjid sekolah untuk membahas
kelangjutan kegiatan ini. Memang setiap pertemua/musyawarah kami biasakan di
masjid. Karena di masjid kita bisa menjaga sikap dan bicara kita. Selain itu,
kita juga bisa merasa tenang di rumah Allah ini. Siswa yang akan naik emosi
akan cepat sadar dan meredam emosinya. Maklum, namanya saja anak muda, masih
belum bisa mengontrol emosinya. Serambi masjid sekolah memang cukup besar.
Sehingga sering kali dijadikan tempat untuk berbincang-bincang siswa dan masyarakat sekitar. Karena masjid ini
juga digunakan oleh masyakat sekitar
sekolah.
Siang ini matahari terasa terik. Panasnya seakan menyengat kulit. Keringat
pun tak segan-segan mengalir deras. Tak ada satu pun angin yang menyapa. Mereka enggan beraktifitas
karena teriknya matahari. Udara yang dihirup pun terasa hangat. Tak ada
kesejukan sedikit pun.
Hal ini berbeda dengan di masjid meskipun diluar sana panas yang menyengat
tapi di masjid terasa lebih sejuk. Angin sepoy
menyapa perlahan menghilangkan keringat yang sedari tadi membanjiri
tubuhku.
Hatiku terasa tenang berada di rumah Allah. Aku duduk di teras masjid
pandimana tempat kami akan berkumpul. Kemudian ku baringkan badanku sedikit
melepas penat. Ku pandangi langit-langit masjid yang nampak bersih. Rasanya
ingin memejamkan mata terbang melayang menikmati kesejukan ini.
Lima belas menit sudah aku membaringkan badanku. Menikmati kesejukan di
rumah Allah. Aku kembali duduk memandangi sekitar masjid. Ku lihat jalan raya
disamping masjid. Kendaraan lalu lalang melintas hampir tak ada jeda. “Gimana
tidak panas, setiap hari bayak sekali kendaraan yang beroperasi. Sehingga
banyak pula polusi yang cipt akan.” Gumamku dalam hati. Seakan ingin protes
atas keadaan ini. “Dasar manusia, makhluk yang selalu membawa perubahan.
Keadaan seperti ini, itu semua karena ulahmu, ulah yang tidak bertanggung
jawab.” Tambahku dalam hati.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Husen, Zulfi dan Raihan sudah datang. Mereka baru selesai mengerjakan soal
ujian. Mereka bertiga duduk disamping kanan dan kiriku. Husen dan Zulfi
langsung membaringkan tubuhnya di lantai masjid untuk membuah rasa penat karena
selama hampir dua jam dipermainkan oleh angka.
“Yang lain mana, belum selesai ?” aku menanyakan teman-teman yang lain.
Sudah selesai apa belum.
“Mereka masih di kelas, mungki pusing melihat angka yang berjajar itu.”
Jawab Husen yang nampaknya cukup kesal menghadapi soal ujian yang lumayan
rumit.
Husen dan Zulfi duduk diam, menikmati kesejukan yang sama denganku. Berbeda
dengan Raihan yang masih saja baca buku yang dia bawa dari perpustakaan. Pantas
saja dia di panggil si kutu buku. Karena teman-temannya adalah buku. Entah
sudah berapa ratus judul yang telah ia baca.Aku senang memiliki teman seperti
Raihan, karena dia bisa memperngaruhi teman-temannya untuk giat belajar hanya
dengan sikap. Dengan sikapnya yang tekun dan tak mudah ini, banyak sekali
teman-teman di sekolah meniru tingkah lakunya.
Husen dan Zulfi dudk diam, mereka menatap jalan raya yang semakin penat.
Kemudian mereka mulai membaringkan badannya di lantai masjid. Melepas lelah
setelah hampir dua jam mereka bertarung melawan angka-angka yang memerlukan tenaga ekstra.
#######
SENYUM BIDADARI
Satu hari lagi, kita akan menyambut tahun baru Islam. Pergantian tahun yang
dibarengi dengan pergantian budaya, budaya yang semakin maju, sebut saja budaya
modern. Budaya yang memberikan kebebasan manusia, dalam bertindak dan
berpendapat, serta penerapan dan
pemahaman tentang hak asasi manusia, yang sering kali disalah artikan oleh
sebagian orang.
Hari ini cukup melelahkan. Karena kita harus menyelesaikan seluruh
peralatan yang akan dipakai dalam kegiatan ini. Mulai dari spanduk, umbul-umbul
hingga aksesoris peserta. Peserta kali ini berjumlah 30orang. 20 permpuan dan
10 laki-laki dan yang menjadi pendamping kegiatan ini adalah Pak Hanafi.
Sungguh hari yang melelahkan, selesai ujian semester, kita harus memuutar otak
lagi untuk mempersiapkan kegiatan Pawa Ta’aruf, setelah itu kita masih punya
satu tanggung jawab lagi mempersiapkan
kegiatan Bakti sosial. Alhamdulillah, Allah selalu memberikan kesehatan dan
kelancaran. Baik kelancaran berfikir maupun kelancaran dalam koordinasi
perserta dan panitia.
Jarum jam menunjukkan pukul 13.00, persiapan telah selesai. Sekarang tinggal
membersihkan sampah-sampah kertas yang masih berserakan disetiap sudut masjid.
Teman-teman nampak bahagia karena perseiapannya sudah selesai.
“Akhirnya selesai juga,” kata Husen lega.
“Ternyata satu minggu tidak cukup untuk mempersiapkan kegiatan besok,”
Hasan menambahkan dengannada sedikit lessu, karena sejak hari senin kemarin
panitia kegiatan jarang berisitrahat.
“Sebenarnya cukup, bahkan lebih dari cukup, karena saja waktu kita terbagi
dua yaitu fokus pada ujian dan fokus pada kegiatan ini,” kataku sedikit memberi
motivasi.
Melihat lantai masjid sudah bersih, anak laki-laki langsung membaringkan
badannya melepas lelah yang mereka tahan selama satu minggu ini. Karena sudag
selesai. Anak putri langsung kembali ke asrama bagi yang tinggal di asrama dan
langsung pulang untuk siswa yang tidak tinggal diarsama.
“Husen kamu pulang tidak ?” tanyaku pada Husen yang masih berbaring melepas
lelah bersama temaHusen-teman yang lain. Sepertinya masih mau menikmati
kesejukkan masjid ini, yang bisa sedikit menghilangkan rasa lelah.
“Nanti saja dulu, kita istirahat disini dulu,” pintanya. “di asrama kan
juga gak ada kerjaan.”
“Ya sudah kalau begitu, aku tak pulang dulu.”
Tanpa menunggu lama, aku langsung meninggalkan mereka. Aku beranjak dari
masjid melangkah sendiri menuju asrama yang tak jauh dari sekolah. Sekitar lima
belas menit berjalan.
Dalam perjalananku, aku melihat seorang
anak kecil yang menangis. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Dia berdiri bersama
kakaknya. Kakaknya yang juga masih kecil hanya diam saja tidak mencoba
menenangkannya. Mungkin mereka sebaya dengan adik-adikku. Melihat merka aku
jadi teringat pada Ayu dan Putri. Adik-adikku yang manis. Hatiku terenyuh
mendengar tangisannya. Aku tak bisa membayangkan jika saja yang menangis itu
adik-adikku, betapa hancurnya hatiku mendengarnya.
Ku dekati mereka. “Kenapa dek ?” anak itu
hanya diam saja tak menjawab. Kucoba untuk menanyakan kepada kakannya, “Kenapa
adiknya ini dek ?”
“Dia minta jajan itu kak, tapi aku tidak
punya uang.” jawab nya polos.
“Ayo ikut kakak, nanti kakak belikan jajan
itu.” Aku mencoba merayu kedua anak itu. Agar mau ikut denganku membeli jajan
yang diinginkan. Tanpa menjawab apapun mereka menuruti ajakanku. Sepertinya
kedua anak itu brasal dari keluarga yang kurang mampu. Dilihat dari bajunya
yang kusut, kulitnya yang kusam dan kaki tanpa alas kaki. Ini mengingatkan ku
masa kecilku dulu yang juga seperti ini.Setelah mendapat jajanan itu mereka
mulai tersenyum. Melihat mereka tersenyum lagi hatiku terasa lega mereka
kembali bermain dan aku juga kembali ke asrama.
######
Kamarku nampak kotor, banyak sekali kertas
berserakan. Sudah seperti sebuah percetakan buku saja. Niatnya kembali ke
arsama mau langsung istirahat, tapi terpaksa harus membersihkannya dulu. Pantas
saja Husen belum mau diajak pulang, paling dia malas harus membersihkan kamar
dulu. Biarlah kukerjakan sendiri. Lagi pula, jika kamar itu bersih aku juga
yang merasa nyaman.kupunguti kertas-kertas itu, ku masukkan ke dalam keranjang
sampah yang ada di depan kamarku. Di luar, suasana nampak sepi, tak ada satu
santri pun yang terlihat. Kemana meraka, apa tidur siang ? Ah biarlah, itu
urusan mereka. Sebentar saja kamarku sudah terlihat bersih. Aku sudah merasa
nyaman tinggal di dalamnya. Saatnya kau beristirahat.
Mulai kubaringkan badanku di atas ranjang
yang sudah menantiku sedari tadi. Ku pandangi langit-langit kamar yang sudah
mulai banyak dihuni laba-laba. Bak sebuah perkampungan laba-laba. Memang
akhir-akhir ini aku jarang sekali membersihkan langit-langit kamar, “Tak apalah
yang aku tidur nyenyak.” Dalam hatiku bertanya, kapan aku bisa tidur nyanyak?
Akhir-akhir ini aku sulit tidur, bahkan kadang tidak tidur semalaman.
Kuraih bingkai foto yang ada di meja dekat
tempat tidurku. Melihat foto itu, aku teringat masa kecilku dulu yang sering
menangis karena minta jajan. Persis dengan anak kecil tadi. Di sebelahku ada
gadis manis yang imut. Farida, namanya Farida, teman kecilku yang selalu
menemaniku. Aku memmanggilnya dengan sebutan bidadari kecil, yang sinarnya
memancar segala penjuru dan memancarkan cahaya kebahagiaan.
“Farida, sekarang kamu dimana?”
Tiba-tiba aku merasa kangen dengannya.
Ingin sekali aku bertemu dengannya, memeluknya dan bercanda lagi dengannya.
Mugkin sekarang dia sudah menjadi gadis yang cantik dan manis. Bak bidadari
dari surga. Aku raba foto itu, foto ini adalah satu-satunya kenanganku dengan
Farida. aku masih ingat dengan harapannya waktu itu, kalau dia ingin
mendapatkan. Seorang pangeran dari surga
yang mampu menjaganya. Aku tidak tahu apakah dia masih ingat dengan harapan
masa kecilnya itu.
“Kok fikiranku jadi ngelantur
kemana-mana,” kata hatiku. Biarlah ini menjadi kenangan manisku dengan Farida.
Jika kita berjodoh, kita akan dipertemukan lagi oleh Allah sang Maha Cinta.” Ku
coba memejamkan mata, membuang segala pikiran yang berjubel dibenakku. Selamat
datang mimpi, aku ucapkan untuk hari ini.
######
Matahari telah kembali keperaduannya.
Warna kemerah-merahan kini mulai nampak diujung barat. Sungguh indah dan tak
terbayangkan. Begitu besar menciptaan Allah. Aku salut pada matahari yang tak
pernah lelah menyinari bumi dan alam semesta. Andai saja dia marah dan tidak
mau menyinari lagi. Apa jadinya dengan kehidupan ini ? bagaimana dengan
nasibku, nasib keluargaku, nasib teman-temanku dan nasib seluruh makhluk yang
ada di dunia ini. Makan mereka pasti akan lenyap, tak akan ada lagi kehidupan.
Aku, pemuda 16 tahun yang berdiri tegak,
menatap langit lepas, menyambut tahun baru yang akan datang. Selamat datang
tahun baru, aku sambut kau dengan semangat baru, mimpi-mimpi baru dan pribadi
yang baru, pribadi yang lebih baik.
Aku berdiri di depan kamarku, menatap
langit yang mulai gelap. Bulan pun mulai terlihat tersenyum kecil padaku.
Bintang-bintang juga mulai menampakkan batang hitungnya. Mereka juga terlihat
bahagia menyambut tahun baru. “Malam ini akan terasa terasa lebih indah jika
ditemani orang-orang yang kucintai,” kata hatiku yang mulai teringat lagi
dengan keluargaku. “Farida andai saja kau juga ada disini, rasanya aku ingin
mencurahkan kerinduanku padamu dan bercerita tentang masa kecil kita yang
indah.” Lanjutku.
“Alhamdulilah, hari ini aku masih bisa
menikmati kebahagiaan ini. Aku bertekad, di tahun yang baru aku harus bisa
menjadi pribadi yang baru, semangat baru dan yang terpenting lagi bisa menjadi lebih
baik dari hari ini. Karena aku tidak ingin digolongkan dalam kelompok
orang-orang yang merugi.”
“Husen, lihatlah langit hari ini,” kataku
pada husen yang baru keluar dari kamar. Dia berdiri disampingku, menatap langit
yang cerah.
“Kenapa langitnya ?”
“Menurutmu ada yang beda tidak ?”
“Aku lihat ada mendung sedikit.” Jawabnya
ringan.
“Lihat cahaya yang ada disana, berbeda
dengan malam sebelumnya.”
“O itu, iya aku lihat, mungkin itu
sisa-sisa cahaya matahari yang masih tertinggal.”
Aku menghela napas sebentar, kurang puas
dengan jawaban husen, dia kurang bisa meniikmati keadaan. Berbeda dengan
Raihan, dia pandai menguraikan keadaan. Bak seperti seorang pujangga besar.
Sungguh indah.
Kami berdua masih berdiri. Memandangi
langit. Kali ini bintang sudah terlihat terang.sudah Karena langit mulai gelap
dan sepertinya sebentar lagi akan maghrib.
BERSAMBUNG .........
Langganan:
Postingan (Atom)